Rabu, 23 November 2016

Jurnal Kebijakan Kesehatan Program Kesehatan Ibu dan Anak

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

ANALISIS PEMBIAYAAN PROGRAM KESEHATAN IBU DAN ANAK
BERSUMBER PEMERINTAH DENGAN PENDEKATAN HEALTH ACCOUNT
ANALYSIS OF FINANCING OF MATERNAL AND CHILD HEALTH PROGRAM FROM GOVERNMENT
WITH HEALTH ACCOUNT APPROACH
Dominirsep Dodo1, LaksonoTrisnantoro2, Sigit Riyarto2
1 Jurusan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur
2Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
ABSTRACT
Background: The degree of Maternal and Child Health (MCH)
is still a major problem in health development in Indonesia. One
factor that may be an obstacle in solving this problem is the
limited cost. In this context, planning and cost utilization are
essential to improve so that they can produce a great impact
for the improvement of MCH. Therefore, in-depth information
about the MCH financing situation in regions as an input to
develop efficient activities in improving MCH status is needed.
Objective: To analyze health financing situation of MCH program
in 2010 which sourced from government and to make policy
recommendations related to the program in Sabu Raijua District,
East Nusa Tenggara Province. The situation in question is
availability, budget planning process, expenditure accuracy,
and fund flow rate.
Method: This was a descriptive research with a case study
strategy.
Result: The total cost of MCH program was IDR 450,787,500.
It was not sufficient to provide basic health services for
pregnant women from early pregnancy until postpartum period.
The budget proportion from the central, provincial, and district
governments amounted to 79.63%, 3.56%, and 16.78%,
respectively. Cost allocation of the district budget was 0.80%.
Planning activities of MCH program was from the district budget
through the development planning meeting (Musrenbang).
Proposed activities in Musrenbang were dominated by physical
activities. The cost of MCH program was spent more on direct
activities and operational cost in villages and sub districts. The
implementation of the activities was not supported by facilities
and adequate human resources. The MCH fund disbursement
from the central government was conducted in October-
November while from the provincial and district governments
were in July to August.
Conclusion: The government’s commitment was still low in
financing MCH program as a priority program due to budget
decentralization. Musrenbang activities had not demonstrated
significant impacts on quality activities improvement and budget
allocations from the district budget. Availability of personnel
and health facilities greatly affected the performance of MCH
program. Delays in funds disbursement disrupted the
implementation of activities and provided opportunities for
corruption. Therefore, the supervision function must be
improved both internal and external.
Keywords: financing, maternal and child health program,
health account, budget, government.
ABSTRAK
Latar Belakang: Derajat kesehatan ibu dan anak (KIA) masih
merupakan masalah utama pembangunan kesehatan di Indonesia.
Salah satu faktor yang menjadi kendala dalam penyelesaian
masalah ini adalah keterbatasan biaya kesehatan. Dalam
konteks ini, aspek perencanaan dan pemanfaatan biaya menjadi
sangat penting untuk diperbaiki agar dapat menghasilkan dampak
yang besar bagi peningkatan derajat kesehatan ibu dan
anak. Oleh karena itu, diperlukan informasi yang mendalam
tentang situasi pembiayaan KIA di daerah sebagai input dalam
pengembangan kegiatan yang efisien dalam meningkatkan status
kesehatan ibu dan anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis situasi pembiayaan kesehatan program KIA tahun
2010 yang bersumber pemerintah dan membuat rekomendasi
kebijakan terkait program KIA di Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Situasi pembiayaan yang dimaksud adalah
ketersediaan, proses perencanaan, ketepatan belanja, dan
kecepatan aliran dana.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan
strategi studi kasus.
Hasil: Total biaya program KIA sebesar Rp450.787.500,00.
Biaya tersebut tidak cukup untuk menyediakan pelayanan kesehatan
dasar bagi ibu hamil mulai dari awal kehamilan sampai
masa nifas. Proporsi biaya dari pemerintah pusat sebesar
79,63%, pemerintah provinsi sebesar 3,56% dan pemerintah
kabupaten sebesar 16,78%. Proporsi biaya KIA dari APBD kabupaten
sebesar 0,80%. Perencanaan kegiatan program Kesehatan
Ibu dan Anak (KIA) bersumber APBD kabupaten melalui
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Usulan
kegiatan Musrenbang di dominasi oleh kegiatan fisik. Proporsi
belanja program KIA lebih banyak untuk kegiatan langsung dan
biaya operasional kegiatan di desa dan kecamatan. Implementasi
kegiatan tidak didukung oleh fasilitas dan sumber daya
manusia. Pencairan dana KIA dari pemerintah pusat dilakukan
pada bulan Oktober-November sedangkan dari pemerintah daerah
kabupaten dan provinsi pada bulan Juli-Agustus.
Kesimpulan: Komitmen pemerintah masih rendah dalam pembiayaan
program KIA sebagai program prioritas. Terjadi sentralisasi
anggaran dalam pembiayaan program KIA di daerah. Kegiatan
Musrenbang belum menunjukkan pengaruh yang berarti
terhadap perbaikan kualitas kegiatan dan alokasi anggaran
dari APBD. Ketersediaan tenaga dan fasilitas kesehatan sangat
mempengaruhi peningkatan kinerja program KIA. Keterlambatan
pencairan dana mengganggu implementasi kegiatan dan memberi
peluang terjadinya penyalahgunaan/korupsi sehingga
fungsi pengawasan harus ditingkatkan baik secara internal
maupun ekternal.
Kata Kunci: pembiayaan, program kesehatan ibu dan anak,
health account, anggaran, pemerintah.
JURNAL KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA
VOLUME 01 No. 01 Maret  2012 Halaman 13 - 23
Artikel Penelitian
14  Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 01, No. 1 Maret 2012
Dominirsep Dodo, dkk.: Analisis Pembiayaan Program Kesehatan Ibu dan Anak
PENGANTAR
Derajat Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) masih
merupakan masalah utama dalam pembangunan
kesehatan di kawasan timur Indonesia. Salah satu
provinsi yang banyak menjadi sorotan nasional dalam
hal rendahnya status kesehatan ibu dan anak adalah
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)1. Kematian ibu
dan bayi di NTT dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu masih banyaknya pertolongan persalinan oleh
dukun atau keluarga yang berlangsung di rumah,
adanya gangguan status gizi ibu pada saat hamil
dan sebelum hamil, dan keterlambatan dalam hal
mengenali tanda bahaya, mengambil keputusan untuk
mencari pertolongan yang berkualitas, mencapai
fasilitas kesehatan dan mendapatkan pertolongan
yang cepat dan tepat di fasilitas pelayanan2.
Salah satu upaya untuk mengatasi masalah
tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka
Kematian Bayi (AKB) adalah penempatan bidan desa
dengan harapan akses masyarakat terhadap layanan
pertolongan persalinan yang bermutu makin terjangkau.
Upaya ini belum sepenuhnya berhasil karena
insentif yang kecil dan kondisi lingkungan yang tidak
menyenangkan sehingga bidan tidak mau bekerja
di desa dalam waktu yang lama3. Kualitas layanan
juga tidak optimal karena tidak ditunjang oleh fasilitas
kesehatan yang memadai. Pada tahun 2009, dalam
rangka percepatan penurunan AKI dan AKB, pemerintah
Provinsi NTT mengeluarkan kebijakan baru
dengan pendekatan yang lebih komprehensif yaitu
kebijakan revolusi KIA. Kebijakan ini bertujuan agar
semua ibu hamil melahirkan di fasilitas kesehatan
yang “memadai” baik dari segi sumber daya manusia,
obat, peralatan atau bahan, bangunan, sistem
dan anggaran atau pembiayaan4.
Penurunan AKI dan AKB dalam kebijakan revolusi
KIA dilakukan dengan “cara-cara yang luar biasa”
yaitu: 1) penyediaan tenaga kesehatan (terutama
dokter dan bidan) yang cukup dengan penyebaran
yang merata, 2) pengembangan puskesmas dengan
PONED dan rumah sakit dengan PONEK di setiap
kabupaten/kota, 3) pembuatan rumah tunggu persalinan
di puskemas dan di rumah sakit disetiap kabupaten/
kota agar sistem rujukan sebelum proses
kelahiran dapat berjalan dengan baik, dan 4) hal-hal
lain yang relevan dengan kebutuhan wilayah setempat4.
Implementasi kebijakan ini di tingkat kabupaten/
kota membutuhkan biaya yang cukup besar sehingga
diperlukan perhatian yang serius dan komitmen
yang tinggi dari pemerintah.
Kabupaten Sabu Raijua adalah salah satu kabupaten
baru di wilayah Provinsi NTTyang dibentuk pada
tahun 2008. Kabupaten ini tergolong daerah miskin,
terpencil dan termasuk dalam kategori kepulauan
terluar di bagian selatan NTT. Jumlah penduduknya
di tahun 2010 sebanyak 73.000 orang. Jumlah
masyarakat miskin sebanyak 64.613 orang dan
semuanya dicakup oleh dana Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas). Pada tahun 2010, jumlah
kasus kematian bayi sebanyak 16 orang dan
kematian balita sebanyak 12 orang. Jumlah kematian
ibu sebanyak 10 orang5.
Kabupaten Sabu Raijua adalah kabupaten
dengan kapasitas fiskal yang rendah (indeks fiskal
0,2181). Penyelenggaraan fungsi pemerintahan
masih banyak bergantung pada dana perimbangan
yang berasal dari pemerintah pusat. Besarnya dana
yang diperuntukkan bagi sektor publik/masyarakat
lebih kecil dan belum sesuai dengan prinsip anggaran
berbasis kinerja. Dari hasil studi pendahuluan yang
dilakukan diketahui bahwa belum ada kontribusi dan
atau bantuan dari luar atau pihak swasta dalam
pembiayaan program KIA di Kabupaten Sabu Raijua.
Salah satu isu penting dalam penyelenggaraan
sistem kesehatan di daerah adalah pembiayaan
kesehatan. Fungsi pembiayaan kesehatan adalah
salah satu penentu kinerja sistem kesehatan6. Fungsi
ini tidak hanya terkait dengan proses mobilisasi dana
tetapi juga dengan menyalurkan atau mengalokasikannya
dalam operasional sistem kesehatan7. Fungsi
pembiayaan menjadi alat kontrol yang penting bagi
penentu kebijakan dalam menyelenggarakan sistem
kesehatan di daerah8.
Masalah dalam pembiayaan kesehatan di Indonesia
adalah belum optimalnya efektivitas dan efisiensi
dalam penggunaan. Hal ini terkait erat dengan
jumlah dana yang kurang, alokasi yang tidak sesuai
prioritas, dan pola belanja yang cenderung pada
investasi barang dan kegiatan tidak langsung.
Dominannya belanja investasi dan kegiatan tidak
langsung berdampak pada kurangnya biaya operasional
dan biaya untuk kegiatan langsung. Di sisi lain,
kinerja suatu program kesehatan sangat ditentukan
oleh kecukupan biaya operasional dan biaya untuk
kegiatan langsung. Kondisi ini diperburuk lagi dengan
terlambatnya pencairan dana yang secara umum
mempengaruhi pencapaian target program9.
Masalah yang dihadapi di negara-negara miskin
dan negara-negara berkembang dalam mencapai
target Millenium Development Goals (MDGs) adalah
alokasi pembiayaan yang tidak efektif dan berbasis
pada data atau informasi yang tidak akurat10. Strategi
yang ditempuh dalam mengatasi hal ini adalah pengembangan
kebijakan kesehatan berbasis bukti11.
Implikasinya, pemerintah perlu memperbaiki kualitas
pembuatan kebijakan dalam situasi keterbatasan
sumber daya12.Salah satu instrumen yang digunakan
untuk menghasilkan evidence bagi pengambil kebiJurnal
Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 01, No. 1 Maret 2012  15
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia
jakan khususnya tentang pembiayaan kesehatan
adalah health account. Analisis pembiayaan dengan
pendekatan health account akan memberikan
informasi yang mendalam tentang aliran biaya atau
belanja dalam penyelenggaraan sebuah sistem
kesehatan13.
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi
situasi pembiayaan program kesehatan ibu dan anak
bersumber pemerintah di daerah terpencil, perbatasan
dan kepulauan dan membuat rekomendasi
kebijakan terkait pembiayaan program tersebut.
Situasi pembiayaan yang dimaksud adalah ketersediaan
biaya, perencanaan anggaran, ketepatan
belanja, dan kecepatan aliran dana.
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan
desain studi kasus14. Penelitian ini dilaksanakan di
Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi NTT selama tiga
bulan yaitu dari bulan Agustus sampai Oktober tahun
2011. Data sekunder dalam penelitian ini adalah
seluruh anggaran bersumber pemerintah yang dibelanjakan
dengan tujuan meningkatkan kesehatan ibu
dan anak yang ada di Kabupaten Sabu Raijua tahun
2010 (tidak termasuk gaji pegawai). Data kualitatif
dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan
responden terkait proses perencanaan anggaran dan
kecepatan aliran dana program KIA. Responden
berjumlah 15 orang yang berasal dari dinas
kesehatan dan sosial, puskesmas dan kecamatan.
Instrumen health acoount yang dipakai adalah
klasifikasi account yang dikeluarkan oleh Pusat
Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementrian
Kesehatan RI pada tahun 2009.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Ketersediaan Biaya Program Kesehatan Ibu
dan Anak
Total biaya program KIA yang bersumber dari
pemerintah baik pusat, provinsi maupun pemerintah
daerah kabupaten di Kabupaten Sabu Raijua pada
tahun 2010 sebesar Rp450.787.500,00. Secara
proporsional, alokasi biaya tersebut, dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Proporsi Alokasi Biaya Untuk Program
Kesehatan Ibu dan Anak dari Berbagai Sumber Biaya
di Kabupaten Sabu Raijua Tahun 2010
Sumber Biaya Total (Rp)
Alokasi Untuk
Program KIA
(Rp)
(%)
Pemerintah Pusat 781.874.003 359.137.500 45,93
Pemerintah Provinsi 134.749.000 16.030.000 11,90
Pemerintah Daerah* 9,490,380,000 75.620.000 0,80
* Total Belanja Langsung Urusan Kesehatan
Tabel 1 menunjukkan bahwa pemerintah pusat
mengalokasikan dana cukup besar untuk pembiayaan
program KIA, sedangkan alokasi dana dari
APBD sangat kecil. Data ini menunjukkan bahwa
komitmen pemerintah daerah terhadap program KIA
sangat rendah.
a. Kecukupan Biaya
Perkiraan Biaya untuk menyediakan pelayanan
kesehatan dasar untuk Ibu sejak hamil sampai pada
masa nifas dalam kebijakan revolusi KIA tingkat
Provinsi NTT sebesar Rp400.000,00 (Tabel 2).
Jumlah populasi ibu hamil yang ada di Kabupaten
Sabu Raijua tahun 2010 sebanyak 2.235 orang.
Besaran kebutuhan kecukupan biaya = jumlah sasaran
dikalikan dengan standar biaya. Kecukupan Biaya
= 2.235 x Rp400.000,00 = Rp894.000.000,00Jumlah
biaya tersedia dan telah dibelanjakan untuk kegiatankegiatan
KIA di Kabupaten Sabu Raijua tahun 2010
sebesar Rp 450.787.500,00 Dengan demikian, biaya
yang dialokasikan dan telah dibelanjakan untuk
kegiatan program KIA di Kabupaten Sabu Raijua
tahun 2010 tidak cukup untuk membiayai pelayanan
kesehatan dasar bagi ibu sejak awal kehamilan
sampai masa nifas.
b. Sumber Biaya
Tabel 3, penyelenggaraan program KIA di tahun
2010 di Kabupaten Sabu Raijua didominasi oleh
pembiayaan dari pemerintah pusat.
Tabel 2. Perkiraan Biaya untuk Satu Ibu Sejak Hamil Sampai Masa Nifas dalam Kebijakan Revolusi KIA di NTT
Jenis Kegiatan Unit Cost (Rp) Volume Jumlah Rp)
Pemeriksaan Kehamilan (ANC) 5.000 4 kali 20.000
Transport keluarga pendamping ke
puskesmas untuk melahirkan
50.000 2 kali 100.000
Jasa Bidan/perawat/dukun pendamping 50.000 1 kali 50.000
Kunjungan rumah ibu nifas dan bayi baru
lahir oleh bidan/perawat
10.000 1 kali per bulan
selama 3 bulan
30.000
Jasa pertolongan bidan puskesmas 50.000 1 orang/kali 50.000
Jasa pertolongan dokter puskesmas 100.000 1 orang/kali 100.000
Jasa Pembantu bidan puskesmas 25.000 2 orang/kali 50.000
Total 400.000
16  Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 01, No. 1 Maret 2012
Dominirsep Dodo, dkk.: Analisis Pembiayaan Program Kesehatan Ibu dan Anak
Tabel 3. Ketersediaan Biaya Program KIA
Berdasarkan Sumber Biaya di Kabupaten
Sabu Raijua Tahun 2010
Sumber Biaya (Pemerintah)
Alokasi Untuk
Program KIA
(Rp) %
Pemerintah Pusat 359.137.500 79,67
Pemerintah Provinsi (Dekonsentrasi) 16.030.000 3,56
Pemerintah Kabupaten (APBD)* 75.620.000 16,78
Total 450.787.500 100,00
*Total Belanja Langsung Urusan Kesehatan
Agen Pembiayaan/Pengelola Anggaran
Tabel 4. Ketersediaan Biaya Program KIA
Berdasarkan Agen Pembiayaan untuk
di Kabupaten Sabu Raijua Tahun 2010
Agen pembiayaan/Pengelola
Anggaran
Alokasi Untuk
Program KIA
(Rp) %
Dinas Kesehatan Provinsi 40.030.000 8,88
Dinas Kesehatan Kabupaten 99.757.500 88,68
BPMPPKB &PemDes 11.000.000 2,24
Total 450.787.500 100,00
Tabel 4 bahwa sebagian besar biaya program
KIA oleh Dinas Kesehatan dan Sosial Kabupaten
Sabu Raijua. Ada juga Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) lain yang mengelola anggaran yang
terkait KIA yaitu badan pemberdayaan masyarakat,
pemberdayaan perempuan, keluarga berencana, dan
pemerintahan desa. Sementara itu, dana dekonsentrasi
dikelola oleh dinas kesehatan provinsi. Dinas
kesehatan di kabupaten hanya sebagai pelaksana
kegiatan yang dibiayai dari dana dekonsentrasi.
Peranan pengelolaan dana KIA oleh RSUD tidak ada.
c. Penyelenggaran/Penyedia Layanan
Tabel 5. Ketersediaan Biaya Program KIA
Berdasarkan Penyelenggara/Penyedia Layanan
di Kabupaten Sabu Raijua Tahun 2010
Penyelenggara/Penyedia
Layanan Jumlah (Rp) %
Pemerintah Kabupaten/Kota 102.430.000 22,72
Puskesmas 285.560.000 63,35
Posyandu 62.797.500 13,93
Total 450.787.500 100,00
Tabel 5 bahwa peranan puskesmas sangat menonjol
dalam produksi pelayanan program KIA. Pelayanan
rujukan terkait KIA di RSUD tidak tersedia di
wilayah kerja Kabupaten Sabu Raijua pada tahun
2010.
2. Perencanaan Anggaran Program
Kesehatan Ibu dan Anak
Proses perencanaan kegiatan program KIA
bersumber APBD secara umum dilakukan dengan
pendekatan bottom up melalui forum Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Tahapan
tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Musrenbang
Dusun
Musrenbang
Desa/Kelurahan
Musrenbang
Kabupaten
Puskesmas
Puskesmas
Pembantu
Forum
SKPD
Musrenbang
Kecamatan
Dinas
Kesehatan
Seksi
KIA
Bidang
PL-Kesga
Rencana Kerja Pembangunan
Daerah
Gambar 1. Tahapan dalam Proses Perencanaan
Kegiatan Program KIA bersumber APBD Kabupaten
Tahapan Musrenbang dalam Gambar 1 dibuktikan
dari hasil wawancara dengan responden di
tingkat kecamatan dan dinas kesehatan:
“…Jadi tingkatannya itu seperti ini: Musrenbangdus,
Musrenbangdes, Musrenbangcam
dan Musrenbangkab. Sebelum masuk ke
musrenbangkab, ada Forum SKPD” (R13)
“Kita tetap melibatkan dari bidang-bidang
secara teknis. Kita menjawab atau mengakomodir
usulan dari tingkat bawah yaitu melalui
Musrenbangdus, Musrenbangdes, Musrenbangcam,
Musrenbangkab. disamping itu
juga, kita juga mengadakan rapat koordinasi
dengan puskemas dan rumah sakit. Di situ,
kita akomodir dan kita rencanakan. Kita tuangkan
dalam Renja(Rencana Kerja) sendiri.
Renja dinas ini.” (R1)
Pihak yang lebih banyak terlibat dalam Musrenbang
di tingkat dusun dan desa adalah masyarakat
dan aparatur pemerintah desa. Tenaga kesehatan
juga terlibat di tingkat desa apabila ada perawat atau
bidan di pustu/desa tersebut. Namun, di tingkat desa
dan kecamatan, tenaga kesehatan tidak bisa terlibat
aktif secara penuh. Hal dibuktikan dari hasil wawancara
dengan responden di tingkat kecamatan: “Tapi
masalahnya kadang-kadang tidak bisa terlibat penuh
karena bertepatan dengan kegiatan rutin mereka
seperti posyandu dan kunjungan rutin ke rumah ibu
hamil dan ibu nifas. Kegiatan itu tidak bisa ditinggal.”
(R11)
Setelah pelaksanaan Musrenbangcam, maka
langkah selanjutnya dalam proses perencanaan
sebelum memasuki forum Musrenbangkab adalah
Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 01, No. 1 Maret 2012  17
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia
Setelah Forum SKPD dilakukan, maka tahapan perencanaan
selanjutnya adalah pelaksanaan Musrenbangkab.
Pihak-pihak yang terlibat cukup banyak
baik pemerintah maupun non pemerintah Musrenbangkab
adalah Musrenbang persetujuan untuk
membuat Rencana Kerja Pembangunan Daerah.
Hasil studi dokumen terhadap dokumen hasil
Musrenbangcam tahun 2010 yang ada di tiga kecamatan
diketahui bahwa jenis-jenis usulan kegiatan
bidang kesehatan tingkat kecamatan yang diakomodir
sebagian besar adalah usulan kegiatan yang
bersifat fisik dan hanya sedikit saja yang bersifat
non fisik.
Hasil penelitian juga menemukan bahwa di
seksi KIA yang ada di dinas kesehatan tidak memiliki
staf. Jumlah kegiatan program KIA yang direncanakan
hanya dua kegiatan. Dana yang tersedia sangat
terbatas dan sumber daya manusia untuk melaksanakan
kegiatan juga terbatas. Hal ini dibuktikan dari
hasil wawancara dengan responden di Dinas
Kesehatan:
“Kita disini sebenarnya tenaga masih terlalu
kurang. Misalnya seperti KIA saja, seksi ini
tidak punya staf apa-apa. Saya sedikit beruntung
sebagai kepala bidang karena ada
kepala seksi. Tapi kepala seksi ini sendiri
tidak ada staf” (R2)
“Program yang kita buat selama ini, itu masih
sebatas, disamping kita melaksanakan program
yang memang sudah diarahkan dari
pusat, tetapi untuk APBD sendiri, karena dananya
juga masih terbatas, kemudian karena
manusia atau SDM-nya juga masih sangat
terbatas, sarana prasarana juga terbatas, jadi
kita masih, memikirkan penambahan sarana
prasarana.” (R1)
Upaya advokasi anggaran juga tidak dilakukan
karena kurangnya kemampuan Sumber Daya
Manusia (SDM) dalam perhitungan kecukupan dana.
Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara: “…sampai
dengan saat ini, kami belum pernah lakukan
permintaan dana ke pihak mana-mana pun belum
pernah. karena kita baru memulai, kita belum tau
kebutuhan kita seperti apa.” (R2)
3. Ketepatan Belanja Program Kesehatan Ibu
dan Anak
a. Jenis kegiatan
Tabel 6. Distribusi Belanja Program KIA Berdasarkan
Jenis Kegiatan di Kabupaten Sabu Raijua Tahun 2010
Jenis Kegiatan Jumlah (%)
Kegiatan Langsung 348.947.500 77,41
Kegiatan Tidak Langsung 101.840.000 22,59
Total Biaya Program KIA 450.787.500 100,00
Tabel 6 menunjukkan bahwa proporsi belanja
untuk kegiatan langsung lebih besar dari belanja tidak
langsung.
b. Mata Anggaran
Tabel 7. Distribusi Belanja Program KIA Berdasarkan
Mata Anggaran di Kabupaten Sabu Raijua Tahun 2010
Mata Anggaran Jumlah (%)
Investasi 25.500.000 5,66
Operasional 425.287.500 94,34
Pemeliharaan - -
Total Biaya Program KIA 450.787.500 100,00
Tabel 7 menunjukkan bahwa hampir semua biaya
program KIA digunakan untuk biaya operasional
sedangkan sisanya untuk investasi.
c. Jenjang Kegiatan
Tabel 8. Distribusi Belanja Program KIA Berdasarkan
Jenjang Kegiatan di Kabupaten Sabu Raijua
Tahun 2010
Jenjang Kegiatan Jumlah (%)
Pusat 6.400.000 1,42
Provinsi 36.320.000 8,06
Kabupaten 44.130.000 9,79
Kecamatan/Puskesmas 75.730.000 16,80
Desa/Kelurahan/masyarakat 288.207.500 63,93
Total Biaya Program KIA 450.787.500 100,00
Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar biaya
program KIA dibelanjakan untuk kegiatan-kegiatan
KIA di tingkat desa dan puskesmas. Data ini menunjukkan
bahwa intensitas kegiatan di tingkat desa
dan kecamatan lebih tinggi daripada di kabupaten,
provinsi dan pusat.
4. Kecepatan Aliran Dana Program Kesehatan
Ibu dan Anak
a. Dana BOK dan Jamkesmas
Hasil studi dokumen terhadap kuintansi pencairan
menunjukkan bahwa dana BOK dan Jamkesmas
tahun 2010 di Kabupaten Sabu Raijua itu baru dapat
dicairkan pada bulan Oktober-November. Untuk dana
Jamkesmas sendiri, waktu pencairannya memang
sudah biasa terjadi di akhir tahun. Pencairan dana
BOK dan Jamkesmas dinilai terlambat dan waktunya
kurang tepat. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancaranya
dengan responden di tingkat dinas kesehatan
dan puskesmas: “Dana BOK dan Jamkesmas itu
realisasinya sudah akhir tahun, tidak tepat waktu juga
pencairannya. Dari dulu seperti itu, sejak adanya dana
JPS-BK.” (R6)
18  Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 01, No. 1 Maret 2012
Dominirsep Dodo, dkk.: Analisis Pembiayaan Program Kesehatan Ibu dan Anak
Penyebab keterlambatan pencairan dana BOK
dan Jamkesmas ini adalah karena dua faktor
diantaranya: keterlambatan dari alokasi dari
pemerintah pusat dan kemampuan dan kapasitas
dari sumberdaya manusia di puskesmas dalam
membuat Plan of Action (PoA). Hal ini dibuktikan
hasil wawancara dengan responden di tingkat dinas
kesehatan dan puskesmas:
“Keterlambatan dari pusat, kemudian dari
Kabupaten Kupang juga terlambat. Kami
hanya menunggu alokasi pembagian dari
Kabupaten Kupang pada waktu itu.” (R4)
“Biasanya dinas sudah memberi tahu bahwa
dana sudah ada. Cuma kami kendalanya ya,
pada saat penyusunan PoA. Kami hanya
diberikan juknis saja dan tidak pernah
mendapat pelatihan untuk itu.Kami baca dari
juknis dan interpretasi sendiri. Kemudian
konsultasi ke atas. Kalau sudah betul, ya oke.
Tapi kalau tidak ya buat ulang alias mereka
coret.” (R8)
Dampak dari keterlambatan pencairan dana
BOK dan Jamkesmas ini sangat berpengaruh pada
kualitas layanan atau kegiatan program di puskesmas.
Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara dengan
responden di tingkat puskesmas:
“Selama bulan Januari sampai dengan
pencairan dana, pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan dengan alokasi dana jamkesmas
itu pake BON alias utang dulu.…artinya kita
BON dulu.” (R5)
“Yang pasti bahwa keterlambatan dana itu
sangat mengganggu program kita disini. Jadi
harapan kita ke depannya nanti, kalau bisa
dana itu turun di awal-awal tahun. Supaya kita
juga kerja dengan tenang dan tidak merabaraba.”
(R7)
b. Dana APBD dan Dana Dekonsentrasi
Hasil studi dokumen dan wawancara, menunjukkan
bahwa pencairan dana dari APBD Kabupaten
untuk kegiatan KIA dilakukan pada bulan Juli. Berikut
adalah hasil wawancara dengan responden ditingkat
dinas kesehatan: “Bulan Juli, agak terlambat cairnya
itu. Sementara birokrasinya juga begitu panjang sehingga
ada kegiatan-kegiatan yang sudah dilaksanakan
karena terobosan saja tapi dana-nya belom ada.” (R2)
Sementara itu, pencairan dana dekonsentrasi
dilakukan pada bulan Agustus-September. Informasi
ini menggambarkan bahwa pencairan dana dekonsentrasi
dan APBD dilakukan pada sekitar pertengahan
tahun.
PEMBAHASAN
1. Ketersediaan Biaya Program Kesehatan Ibu
dan Anak
Penelitian ini menemukan bahwa biaya KIA yang
dialokasikan tidak cukup untuk menyediakan pelayanan
kesehatan dasar bagi ibu sejak awal kehamilan
sampai masa nifas. Hasil penelitian ini didukung
oleh penelitian15 di Lombok Tengah yang menemukan
bahwa biaya program KIA yang ada memang
tidak cukup untuk mencapai target yang ada dalam
standar pelayanan minimal yang dibuat oleh pemerintah15.
Tidak cukupnya biaya program KIA berkaitan
erat dengan alokasi biaya kegiatan program KIA.
Proporsi alokasi dari pemerintah daerah hanya
0,80% dari total belanja langsung APBD kabupaten.
Proporsi ini berbeda dengan hasil penelitian16 yang
menemukan bahwa proporsi anggaran dari APBD
untuk program kesehatan ibu dan bayi berkisar
antara 30%-35%.16 Pola pembiayaan program KIA
dalam penelitian ini bertentangan dengan semangat
desentralisasi. Fenomena tersebut dipengaruhi oleh
kurangnya kesadaran pengambil keputusan akan arti
pentingnya kesehatan17. Pengambil keputusan sering
menganggap pelayanan kesehatan merupakan sektor
yang tidak produktif. Di era desentralisasi banyak
daerah tidak memiliki cukup dana untuk membiayai
pelayanan kesehatan karena kemampuan
fiskal yang rendah18. Selain faktor di atas, juga dipengaruhi
oleh lemahnya kapasitas manajerial dalam
membuat perencanaan anggaran di daerah19.
Temuan lain yang juga penting dalam penelitian
ini adalah dominasi peningkatan pembiayaan dari
pemerintah pusat. Hal ini tidak sepenuhnya positif.
Sentralisasi dalam hal dana dekosentrasi program
KIA tidak dibarengi dengan decision space yang lebar
sehingga sehingga derajat otonomi kabupaten juga
terbatas20. Selain itu juga alokasi anggaran tidak
tepat. Alokasi anggaran dari pusat untuk program
KIA tidak ada hubungannya dengan indikator kapasitas
fiskal, jumlah penduduk, penduduk miskin, luas
wilayah, jumlah dokter, jumlah puskesmas dan
jumlah rumah sakit18.
Ketersediaan biaya yang besar untuk menjamin
pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk bukanlah
satu-satunya determinan bagi peningkatan kinerja
program. Masih banyak faktor lainnya yang juga
turut mempengaruhi peningkatan kinerja program
yakni ketersediaan sarana dan SDM, kualitas layanan,
kapasitas dalam penyerapan anggaran, dan
fungsi pengawasan.
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 01, No. 1 Maret 2012  19
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia
2. Perencanaan Kegiatan Program Kesehatan
Ibu dan Anak
Penelitian ini menemukan bahwa perencanaan
program KIA bersumber APBD dilakukan pendekatan
hierarki pemerintahan. Pendekatan ini dalam UU No.
25/2004 dikenal sebagai pendekatan bawah ke atas
(bottom up) melalui mekanisme Musrenbang. Pendekatan
ini menekankan pada keterpaduan horisontal/
lintas sektor di setiap hierarki pemerintahan21.
Model pengambilan keputusan dalam pendekatan
bottom up (Musrenbang) ini adalah model rasional.
Pengambilan keputusan melibatkan pemilihan
di antara pilihan-pilihan yang berlaku paling memungkinkan
dalam pencapaian tujuan yang ditentukan22.
Penelitian ini menemukan kelemahan dalam pendekatan
Musrenbang. Kelemahan pertama adalah tingkat
keterlibatan dan partisipasi masyarakat rendah
karena dilakukan pada awal tahun yang bertepatan
dengan musim hujan. Hal ini berpotensi pada kurangnya
ownership masyarakat terhadap program-program
dan kegiatan. Kelemahan kedua adalah output
kegiatan yang ditetapkan atau diusulkan untuk
dibiayai lebih banyak yang bersifat fisik.
Dominannya usulan kegiatan yang bersifat fisik
dalam forum Musrenbang disebabkan karena kegagalan
pemerintah yaitu dinas kesehatan sebagai
leading sector dalam memfasilitasi masyarakat
untuk memahami pentingnya aspek non fisik di
bidang kesehatan. Salah satu bentuk kelemahan
pendekatan bottom up dengan model pengambilan
keputusan rasional yaitu ketidakmampuan pihakpihak
yang terlibat dalam pembuatan kebijakan dalam
mendefinisikan permasalahan yang ada sebagai
konsekuensi dari kekurangan informasi yang dimiliki22.
Selain berbagai faktor di atas, terdapat juga
faktor lain yakni output pelayanan KIA adalah suatu
yang intangible sehingga kurang mendapat perhatian
masyarakat23.
Kecenderungan belanja fisik tidak berbanding
lurus dengan peningkatan kinerja program9. Dalam
proses perencanaan memang masih terdapat kesulitan
untuk merubah mindset pelaku perencanaan dari
“project oriented” atau “budget oriented” menjadi “performance
based-budgeting”. Kesulitan lainnya dalam
proses perencanaan adalah terbatasnya SDM yang
menunjang kegiatan dan tidak lancarnya pelaporan
kegiatan kesehatan18.
Untuk mengatasi kelemahan tersebut perlu dilakukan
perbaikan yang dimulai dari: 1) sosialisasi
untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
masyarakat akan pentingnya kegiatan non fisik dalam
sektor kesehatan, 2) pengambilan keputusan
harus berbasis bukti (evidence based) sehingga perlu
ada pengumpulan data dan perbaikan kualitas data
yang akurat, dan 3) tenaga kesehatan harus terlibat
aktif dalam kegiatan Musrenbang dan membangun
koalisi yang erat dengan berbagai stakeholder
penting di ranah lokal.
3. Ketepatan Belanja Program Kesehatan Ibu
dan Anak
Penelitian ini menemukan bahwa belanja program
KIA dari aspek jenis kegiatan, lebih banyak
dihabiskan untuk kegiatan langsung. Kegiatan langsung
adalah kegiatan yang menghasilkan output
program dan terkait langsung dengan pelayanan9.
Banyaknya biaya yang digunakan untuk kegiatan
langsung akan meningkatkan output layanan karena
menyentuh sasaran/populasi dan konsisten dengan
prinsip penganggaran berbasis kinerja yang menuntut
adanya efektivitas, efisiensi dan akuntabilitas24.
Dari aspek mata anggaran, sebagian besar biaya
dibelanjakan untuk input yang bersifat operasional.
Kinerja program sangat ditentukan oleh kecukupan
biaya operasional. Kekurangan biaya operasional
merupakan “penyakit” lama dalam sistem kesehatan25.
Biasanya belanja kesehatan lebih didominasi
oleh belanja fisik untuk investasi. Belanja yang tinggi
untuk kegiatan investasi cenderung tidak meningkatkan
kinerja9.
Berdasarkan aspek jenjang kegiatan, sebagian
besar biaya digunakan untuk menjalankan kegiatan
di desa melalui posyandu dan di puskesmas. Intensitas
kegiatan KIA yang tinggi di desa dan puskesmas
meningkatkan kinerja program karena bersifat
langsung kepada masyarakat sebagai sasaran
kegiatan. Perbaikan kinerja program sebagian besar
ditentukan oleh intensitas kegiatan di tingkat pelayanan
seperti puskesmas, RSUD, dan masyarakat9.
Walaupun dari segi jenis kegiatan, mata anggaran,
dan jenjang kegiatan, belanja program KIA sudah
tepat namun kondisi SDM dan fasilitas dan sarana
pendukung lainnya di Kabupaten Sabu Raijua sangat
terbatas dan tidak mendukung dalam meningkatkan
kualitas pelayanan dan kinerja program. Implikasinya,
cakupan pelayanan KIA di tingkat puskesmas
tidak mengalami peningkatan. Determinan kinerja
program dari perspektif ketepatan belanja tidak sepenuhnya
berlaku di semua daerah25. Asumsi itu hanya
dapat berlaku di daerah yang memiliki SDM yang
cukup dengan fasilitas yang memadai. Pencapaian
target kinerja program sangat ditentukan oleh
kemampuan sistem, ketersediaan sumber daya dan
infrastruktur serta kapasitas absorpsi pemerintah21.
Alokasi biaya operasional yang efektif untuk kegiatan
program KIA adalah alokasi biaya yang diarahkan
20  Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 01, No. 1 Maret 2012
Dominirsep Dodo, dkk.: Analisis Pembiayaan Program Kesehatan Ibu dan Anak
pada kegiatan-kegiatan yang terkait erat dengan
upaya mengatasi penyebab kematian ibu dan bayi26.
Untuk meningkatkan efektivitas implementasi program
maka perlu dilakukan perubahan dalam struktur
organisasi dan hal ini terkait erat dengan ketersediaan
dan kemampuan sumber daya manusia sektor
kesehatan yang ada di tingkat daerah27.
4. Kecepatan Aliran Dana Program Kesehatan
Ibu dan Anak
Kecepatan aliran dana merupakan faktor yang
krusial dalam implementasi kegiatan program. Dana
adalah unsur penting dalam menjalankan sistem
kesehatan di daerah. Kecepatan aliran dana akan
sangat menentukan kapan suatu kegiatan dimulai
dan kualitas dari pelaksanaan kegiatan tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dana dari pemerintah
pusat selalu terlambat dan realisasinya pada
akhir tahun sedangkan dana dekonsentrasi dan dana
dari APBD dicairkan pada pertengahan tahun. Pencapaian
target program tidak akan maksimal bila
dikerjakan dalam waktu yang singkat walaupun
jumlah dana yang diberikan cukup besar.
Penelitian ini menemukan bahwa ada ketidakpastian
pembiayaan dalam kegiatan program KIA
dari awal tahun sampai pertengahan tahun bahkan
akhir tahun. Ketidakpastian pembiayaan ini menyulitkan
tenaga kesehatan yang ada di tingkat pelayanan
dasar di kecamatan dan desa/posyandu. Tenaga kesehatan
mengeluarkan biaya sendiri atau berhutang
kepada pihak lain. Dalam kondisi ketidakpastian
pembiayaan ini, sangat sulit untuk menjalankan
kegiatan rutin dan membuat inovasi di tingkat desa
atau puskesmas.
Keterlambatan pencairan dana dari pusat maupun
daerah dari daerah sendiri merupakan prakondisi
yang memungkinkan berkembangnya perilaku korupsi.
Penyalahgunaan wewenang atau perilaku
korupsi dalam sektor kesehatan dipengaruhi oleh
besarnya peluang yang ada untuk melakukan penyalahgunaan
tersebut. Besarnya peluang tersebut
dipengaruhi oleh banyak hal dan yang paling penting
adalah adanya monopoli dalam pengelolaan dana
dan tekanan dari pihak-pihak yang memiliki otoritas28.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian di
Ghana yang menyatakan keterlambatan pencairan
dana mengacaukan implementasi kegiatan kesehatan
dan menurunkan moral kerja dari pegawai. Salah
satu cara menyiasati keterlambatan dana adalah
melalui mekanisme hutang. Mekanisme lainnya adalah
dengan meminjam biaya dari kas internal institusi,
pre-purchasing materials, atau melakukan penghematan
diakhir tahun untuk kegiatan pada awal tahun
berikutnya. Mekanisme informal seperti ini dinilai dapat
mencegah terjadinya korupsi akibat keterlambatan
dana sekaligus bisa mempertahankan agar
sistem kesehatan tetap berjalan29.
5. Analisis dan Rekomendasi Kebijakan
Pada tahun 2009, pemerintah Provinsi NTT telah
mengeluarkan kebijakan revolusi KIA. Kebijakan
revolusi KIA adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah
Provinsi NTT untuk mempercepat penurunan
AKI dan AKB di wilayah NTT. Kebijakan ini
mengharuskan semua ibu hamil bersalin harus ditolong
oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan
yang memadai.
Dari hasil wawancara diketahui bahwa terdapat
berbagai faktor yang mempengaruhi tingginya kematian
ibu dan bayi di Kabupaten Sabu Raijua. Beberapa
faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah karena
terbatasnya jumlah tenaga kesehatan, sarana dan
prasarana kesehatan, manajemen pelayanan kesehatan
dan rendahnya pengetahuan serta kesadaran
masyarakat akan pentingnya kesehatan ibu dan
anak.
Untuk memperbaikinya, dalam konteks pembiayaan
diperlukan perencanaan berbasis skenario. Dengan
adanya pemahaman ini maka pengambil
keputusan lebih siap melakukan tindakan strategis
di masa yang akan datang30. Ada dua fenomena
penting terkait dengan skenario pembiayaan. Dua
fenomena itu adalah pembiayaan dari pusat dan
pembiayaan dari daerah. Berdasarkan pada dua hal
ini maka ada empat skenario yang akan terjadi dalam
pembiayaan KIA di kabupaten. Ilustrasinya seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.
Ada
peningkatan
pembiayaan
dari APBD
untuk program
KIA
Tidak ada
peningkatan
pembiayaaan
dari APBD
untuk
program KIA
Ada peningkatan
pembiayaan KIA dari
APBN/Dekon
1
2
Tidak ada
peningkatan
pembiayaan KIA dari
APBN/Dekon
4
3
Gambar 2. Skenario Pembiayaan Program KIA
di Kabupaten Sabu Raijua di Masa Datang
Dari ke-4 skenario di atas, skenario yang paling
mungkin terjadi adalah skenario yang didukung
oleh hasil analisis terhadap fakta dan pengalaman
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 01, No. 1 Maret 2012  21
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia
yang terjadi selama ini dan peluang dan ancaman di
masa datang. Pembiayaan kesehatan dari pusat
untuk program prioritas diperkirakan meningkat
dengan adanya BOK, Jamkesmas dan Jampersal
yang tercermin dari adanya keinginan pemerintah
pusat untuk mencapai Universal Coverage 2014.
Perhatian pemerintah pusat dalam percepatan
pembangunan di kawasan Timur Indonesia terutama
daerah-daerah dengan AKI dan AKB juga sangat
tinggi terutama daerah perbatasan, kepulauan,
miskin dan terpencil.
Sementara itu, ditingkat daerah sendiri,
kebijakan revolusi KIA yang dicanangkan di tingkat
provinsi mulai gencar disosialisasikan ditingkat
kabupaten dan kemungkinan besar membawa
pengaruh dalam political will pemerintah daerah
dalam hal komitmen anggaran. Koalisi untuk sektor
kesehatan kemungkinan akan lebih kuat karena
sektor kesehatan merupakan salah satu program
prioritas kedua setelah pendidikan di Kabupaten
Sabu Raijua.
Dari berbagai fakta dan uraian di atas, maka
kemungkinan besar skenario 1 yang akan terjadi
yaitu peningkatan pembiayaan dari pusat dan provinsi
yang diikuti dengan peningkatan pembiayaan dari
APBD kabupaten. Rekomendasi yang dapat
diberikan bila skenario ini terjadi:
Kementerian Kesehatan perlu merubah mekanisme
penyaluran Dana BOK agar tidak terjadi
keterlambatan, 2) Dinas Kesehatan Kabupaten perlu
malkukan perbaikan kualitas data sasaran program
KIA. Kegiatan dan layanan program KIA yang tidak
dibiayai oleh dana pusat, 3) Dinas kesehatan kabupaten
perlu melakukan komunikasi data dan pertukaran
informasi yang intensif dengan pemerintah
pemerintah provinsi agar dapat mengalokasikan dana
dekonsentrasi dengan menu kegiatan yang sesuai
dengan kebutuhan pengembangan sistem kesehatan
daerah, 4) Dinas kesehatan perlu mengintensifkan
pengawasan dan pengendalian terhadap mutu layanan
dan kegiatan program KIA di tingkat puskesmas,
5) Pemerintah daerah harus kerjasama dengan
perguruan tinggi kesehatan atau institusi kesehatan
lainnya untuk penyediaan tenaga kesehatan.
Pemerintah daerah perlu melakukan perbaikan
dalam alokasi APBD untuk sektor kesehatan dengan
menitikberatkan pada pemberian insentif bagi tenaga
kesehatan, upaya penyediaan tenaga kesehatan,
penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai.
Perbaikan kualitas dan pemantapan kapasitas
manajemen di dinas kesehatan dan puskesmas
serta rumah sakit sehingga target kinerja tercapai
secara efektif dan efisien.
Peningkatan fungsi pengawasan dan pengendalian
serta penggunaan mekanisme informal lainnya
agar dalam penggunaan biaya tidak membuka
peluang terjadinya korupsi dalam implementasi
sistem kesehatan.
Untuk merubah perilaku dan meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam hal persalinan maka
pemerintah daerah perlu menetapkan peraturan daerah
dan turunannya di tingkat kecamatan dan desa
mengenai keharusan melakukan persalinan pada
tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan.
Pengembangan kemitraan dengan tokoh agama
(toga) dan tokoh masyarakat (tomas) atau tokoh
lokal (tolo) untuk lebih aktif dalam peran pengambilan
keputusan melakukan rujukan masalah persalinan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pembiayaan KIA oleh pemerintah belum memenuhi
kebutuhan masyarakat. Komitmen pemerintah
dalam pembiayaan program KIA yang adalah program
prioritas sangat rendah. Terjadi sentralisasi
anggaran program KIA.
Pendekatan yang digunakan dalam perencanaan
anggaran kegiatan KIA dari sumber APBD kabupaten
adalah pendekatan bottom up melalui mekanisme
Musrenbang. Mekanisme ini gagal untuk meningkatkan
kualitas dan anggaran kegiatan program
KIA.
Kinerja program tidak hanya ditentukan oleh
ketepatan belanja program, tetapi juga ketersediaan
sumber daya manusia dan fasilitas kesehatan yang
memadai.
Pencairan dana mengalami keterlambatan dan
sangat mempengaruhi kualitas implementasi kegiatan.
Pelayanan kesehatan dasar KIA lebih sering
dijalankan dengan menggunakan mekanisme informal
seperti hutang atau menggunakan biaya pribadi.
Keterlambatan ini memberi peluang terjadinya penyalahgunaan/
korupsi sehingga fungsi pengawasan perlu
ditingkatkan baik secara internal maupun eksternal.
Implementasi kebijakan Revolusi KIA di Kabupaten
Sabu Raijua dari aspek isi, sasaran program
KIA (ibu hamil) belum bisa melahirkan di fasilitas
kesehatan yang memadai. Dari aspek konteks, implementasi
tidak didukung dengan biaya, SDM dan
sarana prasarana yang cukup serta masih rendahnya
pengetahuan dan kesadaran masyarakat. Dari aspek
aktor, pelaku pembiayaan dan pelaku pelayanan
program KIA didominasi oleh pemerintah dan belum
ada kontribusi swasta atau lembaga donor lainnya.
Ke depannya, kemungkinan besar terjadi peningkatan
pembiayaan dari pemerintah pusat yang diikuti
22  Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 01, No. 1 Maret 2012
Dominirsep Dodo, dkk.: Analisis Pembiayaan Program Kesehatan Ibu dan Anak
dengan peningkatan pembiayaan program KIA dari
pemerintah daerah.
REFERENSI
1. Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Profil Kesehatan
Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008,
Dinas Kesehatan Provinsi NTT, Kupang, 2009a.
2. Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Rencana Strategis
Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara
Timur Tahun 2009-2013, Kupang, 2009b.
3. Muninjaya AA. Gde. Manajemen Kesehatan,
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2004.
4. Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Pedoman
Revolusi KIA di NTT, Kupang, 2009c.
5. Dinas Kesehatan dan Sosial Kabupaten Sabu
Raijua. Profil Kesehatan Kabupaten Sabu Raijua
tahun 2010, Sabu, 2010.
6. WHO. World Health Report, http://www.who.int,
2000, Diakses tanggal 3 Januari 2010.
7. Eliya, R. Strengthening Health Financing in Partner
Developing Countries. www.jcie.org/
researchpdfs/, diakses tanggal 4 Maret 2010.
8. Trisnantoro L. Sistem Kesehatan dan Reformasi,
Makalah Kuliah Health Reform KMPK,
Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 2010.
9. Gani A. Pedoman dan Modul Pelatihan District
Health Account (DHA) untuk Tingkat Kabupaten
dan Kota, Pusat Pembiayaan dan Jaminan
Kesehatan Depkes RI, Jakarta, 2009.
10. Schaferhoff M, Schrade C, Yamey, G. Financing
Maternal and Child Health-What Are the Limitations
in Estimating Donor Flows and Resource
Needs?.PloS Med 2010;7(7): e1000305.
Doi:10.1371/ journal.pmed.1000305.
11. Gray M J A. Evidence-Based Health care. How
To Make Health Policy and Management Decisions,
Churchill Livingstone, London, 2001.
12. Davies P. Is evidence Based Government Possible?
Jerry Lee Lecture 2004. In Dumestricu,
A., Granados, A., Wallace, J., Watson, S.,
Deman Driven Evidence Network in Europe,
Bulletin World Health Organization, 2006.
13. WHO. National Health Account. http://
www.who.int/nha/, Diakses tanggal 2 Februari
2011.
14. Yin R K. Studi Kasus-Desain & Metode, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2009.
15. Siswadi A J. Analisis Biaya Program Kesehatan
Ibu dan Anak Dalam Mencapai SPM di Kabupaten
Lombok Tengah, Tesis, Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, 2009.
16. Aryastami N K, Ariningrum, Ratih. Analisis
Pembiayaan Program Kesehatan Ibu dan bayi
di Kabupaten/Kota. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan, 2005;10(3):231-38.
17. Azwar A. Pengantar Administrasi Kesehatan,
Edisi Ke-3, Binarupa Aksara, Jakarta, 1996.
18. Trisnantoro L, Atmawikarta A., Marhaeni D., dan
Harbianto, D. Desentralisasi Fiskal di Sektor
Kesehatan Dan Reposisi Peran Pusat Dan
Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi
Kesehatan di Indonesia 2000-2007-Mengkaji
Pengalaman dan Skenario Masa Depan, BPFE,
Yogyakarta, 2009.
19. Hasanbasri, M. Politik Daerah dan Program
Kesehatan di Masa Desentralisasi dalam Pelaksanaan
Desentralisasi Kesehatan di Indonesia
2000-2007-Mengkaji Pengalaman dan Skenario
Masa Depan, BPFE, Yogyakarta, 2009.
20. Herawati D M D. Decision Space dalam Program
Kesehatan Ibu dan Anak Tahun 2006,
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan,
2006;09(3):118-120.
21. Probandari A dan Murti, B. Perencanaan dan
Penentuan Prioritas Kesehatan dalam
Perencanaan dan Penganggaran untuk Investasi
Kesehatan Kabupaten dan Kota, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2006.
22. Buse K, Mays N, Walt G. Making Health Policy-
Understanding Public Health, Open University
Press, London, 2005.
23. Hasanbasri M. Proses Politik dalam Perencanaan
dan Pengganggaran dalam Perencanaan
dan Penganggaran untuk Investasi Kesehatan
Kabupaten dan Kota, Editor: Laksono
Trisnantoro, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2006.
24. Maryanti A H, Hardianto D. Penganggaran Menggunakan
RASK dan Pembiayaan Kesehatan dalam
Perencanaan dan Penganggaran untuk Investasi
Kesehatan Kabupaten dan Kota. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2006.
25. Gani A. Reformasi Sistem Pembiayaan Kesehatan
Kabupaten/Kota dalam Sistem Desentralisasi,
Makalah Pertemuan Nasional Desentralisasi
Kesehatan, Bandung, 2006.
26. Rambe DM. Analisa Biaya Operasional Program
Kesehatan Ibu dan Anak Terkait Penurunan
Kematian Ibu di Kabupaten Muaro Jambi, Tesis,
Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas
Kedokteran, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 2009.
27. Vian, Tanry. Review of Corruption in the Health
Sector: Theory, Methods and Interventions, JourJurnal
Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 01, No. 1 Maret 2012  23
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia
nal Health Policy and Planning, Published by
Oxford University Press in Association with The
London School of Hygiene and Tropical Medicine,
2008;23:83-94.
28. Hasanbasri M. Program Vertikal dan Kapasitas
Daerah, Paper Kuliah Minat Kebijakan dan
Manajemen Pelayanan Kesehatan, Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 2008.
29. Asante, Augustine D, Zwi, Anthony B, Ho Maria
T. Getting by on Credit: How District Health Managers
in Ghana Cope with the Untimely Release
of Funds. BMC Health Services Research,
2006;6:105 doi:10.1186/1472-6963-6-
105.
30. Trisnantoro L. Analisis Stakeholder dan Skenario
dalam Pelaksanaan Desentralisasi Kesehatan
di Indonesia 2000-2007-Mengkaji Pengalaman
dan Skenario Masa Depan, BPFE, Yogyakarta,
2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar