BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan
umumnya sudah menjadi tujuan utama dan merupakan hasil suatu pembangunan, namun
peran investasi kesehatan dalam pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan
masih kurang mendapat perhatian. Hubungan antara kesehatan, ekonomi, dan
pembangunan dapat dilihat pada tingkat rumah tangga dan masyarakat. Pada tingkat mikro yaitu pada tingkat
individual dan keluarga, kesehatan adalah dasar bagi produktivitas kerja dan
kapasitas untuk belajar di sekolah. Tenaga kerja yang sehat secara fisik dan
mental akan lebih enerjik dan kuat, lebih produktif, dan mendapatkan
penghasilan yang tinggi. Keadaan ini terutama terjadi di negara-negara sedang
berkembang, dimana proporsi terbesar dari angkatan kerja masih bekerja secara manual. Pembangunan itu sangat erat sekali hubungannya dengan
kesehatan yaitu seberapa besar anggaran yang ditujukan untuk kesehatan itu bisa
memadai serta bagaimana anggaran tersebut bisa dialokasikan dengan tepat untuk
pembangunan pelayanan kesehatan. Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung
pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan
kemiskinan. Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Indonesia adalah salah
satu negara dari sedikit negara-negara di dunia, yang belum memiliki sistem
pembiayaan yang mantap. Pembiayaan kesehatan
sebagai subsistem penting dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, terhadap
beberapa faktor penting dalam pembiayaan kesehatan yang mesti diperhatikan.
Pertama, besaran (kuantitas) anggaran pembangunan kesehatan yang disediakan
pemerintah maupun sumbangan sektor swasta. Kedua, tingkat efektifitas dan
efisiensi penggunaan (fungsionalisasi) dari anggaran yang ada. Terbatasnya
anggaran kesehatan di negeri ini, diakui banyak pihak, bukan tanpa alasan.
Berbagai hal biasa dianggap sebagai pemicunya. Selain karena rendahnya
kesadaran pemerintah untuk menempatkan pembangunan kesehatan sebagai sektor
prioritas, juga karena kesehatan sebagai sektor prioritas, juga karena kesehatan
belum menjadi komoditas politik yang laku dijual di negeri yang sedang
mengalami transisi demokrasi ini.
Sistem Kesehatan
adalah suatu jaringan penyedia pelayanan kesehatan (supply side) dan
orang-orang yang menggunakan pelayanan tersebut (demand side) di setiap
wilayah, serta negara dan organisasi yang melahirkan sumber daya tersebut,
dalam bentuk manusia maupun dalam bentuk material. Dalam definisi yang
lebih luas lagi, sistem kesehatan mencakup sektor-sektor lain seperti
pertanian dan lainnya. (WHO; 1996). Pembangunan kesehatan adalah bagian dari
pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Dewasa ini, pembangunan kesehatan yang
telah dilaksanakan masih menghadapi berbagai masalah yang belum sepenuhnya
dapat diatasi. Sehingga diperlukan pemantapan dan percepatan melalui SKN
sebagai pengelolaan kesehatan yang disertai berbagai terobosan penting, antara
lain program pengembangan Desa Siaga, Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas),
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Program Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi (P4K) yang dapat diwujudkan melalui Jampersal.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengaruh pembangunan ekonomi
terhadap derajat kesehatan ?
2. Apa saja kaitan dasar ekonomi kesehatan terhadap
pembangunan ?
3. Apa definisi pembiayaan kesehatan, macam biaya kesehatan ?
4. Bagaimana perkembangan sistem pembiayaan kesehatan di
Indonesia ?
5. Apa pengertian dari Sistem Kesehatan Nasional, tujuan
sistem kesehatan nasional, dan manfaat sistem kesehatan nasional ?
6. Apa saja asas sistem kesehatan nasional ?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui
bagaimana pengaruh pembangunan ekonomi terhadap derajat kesehatan
2. Untuk mengetahui apa saja katan dasar ekonomi kesehatan
terhadap pembangunan
3. Untuk mengetahui pengertian pembiayaan kesehatan, macam
kesehatan serta syarat pokok dan fungsi kesehatan
4. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan sistem pembiayaan
kesehatan di Indonesia
5. Untuk mengetahui pengertian dari sistem kesehatan
nasional, tujuan sistem kesehatan nasioanal. Dan manfaat sistem kesehatan
nasional
6. Untuk mengetahui asas sistem kesehatan nasional
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengaruh Pembangunan Ekonomi Terhadap Derajat Kesehatan
Laporan Komisi, menganalisis berbagai hubungan
keterkaitan antara kesehatan dengan pembangunan ekonomi yang dapat
diterangkan melalui berbagai mekanisme
dan dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Berikut ini akan diuraikan
pembahasan terhadap enam fokus area, yaitu pertama, kesehatan dan
pembangunan, kedua, kesehatan dan kemiskinan, ketiga, memilih
intervensi untuk kesehatan yang lebih baik, keempat Menilai Status
Kesehatan Penduduk, kelima, Peningkatan Biaya Kesehatan dan yang keenam, Menghilangkan Hambatan Non-Biaya Untuk
Pelayanan Kesehatan
1. Kesehatan
dan Pembangunan
Pada tingkat mikro yaitu pada tingkat
individual dan keluarga, kesehatan adalah dasar bagi produktivitas kerja dan
kapasitas untuk belajar di sekolah. Tenaga kerja yang sehat secara fisik dan
mental akan lebih enerjik dan kuat, lebih produktif, dan mendapatkan
penghasilan yang tinggi. Keadaan ini terutama terjadi di negara-negara sedang
berkembang, dimana proporsi terbesar dari angkatan kerja masih bekerja secara manual. Di
Indonesia sebagai contoh, tenaga kerja laki-laki yang menderita anemia
menyebabkan 20% kurang produktif jika dibandingkan dengan tenaga kerja
laki-laki yang tidak menderita anemia. Selanjutnya, anak yang sehat mempunyai
kemampuan belajar lebih baik dan akan
tumbuh menjadi dewasa yang lebih terdidik. Dalam keluarga yang sehat,
pendidikan anak cenderung untuk tidak terputus jika dibandingkan dengan
keluarga yang tidak sehat. Pada tingkat makro, penduduk dengan tingkat
kesehatan yang baik merupakan masukan (input) penting untuk menurunkan
kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan ekonomi jangka panjang.
Beberapa pengalaman sejarah besar membuktikan berhasilnya tinggal landas
ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi yang cepat didukung oleh terobosan penting
di bidang kesehatan masyarakat, pemberantasan penyakit dan peningkatan gizi.
Hal ini antara lain terjadi di Inggris selama revolusi industri, Jepang dan
Amerika Selatan pada awal abad ke-20,
dan pembangunan di Eropa Selatan
dan Asia Timur pada permulaan tahun 1950-an dan tahun 1960-an. Informasi yang
paling mengagumkan adalah penelusuran sejarah yang dilakukan oleh Prof. Robert Fogel, yang menyatakan
bahwa peningkatan ketersediaan jumlah kalori untuk bekerja, selama 200 tahun
yang lalu mempunyai kontribusi terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita
seperti terjadi di Perancis dan Inggris. Melalui peningkatan produktivitas
tenaga kerja dan pemberian kalori yang cukup, Fogel memperkirakan bahwa
perbaikan gizi memberikan kontribusi sebanyak 30% terhadap pertumbuhan
pendapatan per kapita di Inggris. Bukti-bukti makroekonomi menjelaskan bahwa
negara-negara dengan kondisi kesehatan dan pendidikan yang rendah, mengahadapi
tantangan yang lebih berat untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan jika dibandingkan dengan negara
yang lebih baik keadaan kesehatan dan pendidikannya. Terdapat korelasi yang
kuat antara tingkat kesehatan yang baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Secara statistik diperkirakan bahwa setiap peningkatan 10% dari angka harapan
hidup (AHH) waktu lahir akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi minimal 0.3–0.4%
pertahun, jika faktor-faktor pertumbuhan lainnya tetap. Dengan demikian, perbedaan tingkat pertumbuhan tahunan antara
negara-negara maju yang mempunyai AHH tinggi (77 tahun) dengan negara-negara
sedang berkembang dengan AHH rendah (49 tahun) adalah sekitar 1.6%, dan
pengaruh ini akan terakumulasi terus
menerus. Pkesejahteraan ekonomi sebagai akibat dari bertambah panjangnya usia
sangatlah penting. Dalam membandingkan tingkat kesejahteraan antar kelompok
masyarakat, sangatlah penting untuk melihat angka harapan hidup, seperti halnya
dengan tingkat pendapatan tahunan. Di negara-negara yang tingkat kesehatannya
lebih baik, setiap individu memiliki rata-rata hidup lebih lama, dengan demikian
secara ekonomis mempunyai peluang untuk untuk memperoleh pendapatan lebih
tinggi. Keluarga yang usia harapan hidupnya lebih panjang, cenderung untuk
menginvestasikan pendapatannya di bidang pendidikan dan menabung. Dengan
demikian, tabungan nasional dan investasi akan meningkat, dan pada gilirannya
akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Peranan kesehatan diantara berbagai
faktor pertumbuhan ekonomi dapat digambarkan dalam Diagram 1 dibawah ini. Dalam diagram tersebut dapat dilihat,
pembangunan ekonomi disatu fihak, merupakan fungsi dari kebijakan dan institusi
(kebijakan ekonomi, pemerintahan yang baik, dan penyediaan pelayanan publik),
dan faktor masukan (sumber daya manusia, teknologi, dan modal perusahaan)
dilain fihak. Kesehatan mempunyai peranan ekonomi yang sangat kuat terhadap
sumber daya manusia dan modal perusahaan melalui berbagai mekanisme. Kesehatan
yang buruk akan memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan ekonomi, hal ini
antara lain terjadi di sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan. Beban berat yang
diakibatkan oleh penyakit dan pengaruh gandanya terhadap produktivitas,
kependudukan, dan pendidikan mempunyai peranan dalam kinerja ekonomi yang buruk
dan kronis di negara-negara Afrika. Studi terbaru yang dilakukan oleh Bloom dan Sachs, menemukan bahwa lebih
dari setengahnya dari keterbelakangan pertumbuhan di negara-negara Afrika jika
dibandingkan dengan dengan negara-negara di Asia Timur, secara statistik dapat
diterangkan oleh beban berat akibat penyakit, kependudukan, dan geografis jika
dibandingkan dengan variabel-variabel tradisional dari ekonomi makro dan
politik pemerintahan. Sebagai contoh, tingginya angka prevalensi penyakit
malaria menunjukkan hubungan yang erat dengan penurunan pertumbuhan ekonomi
sebesar satu persen atau lebih setiap tahunnya.
2.
Kesehatan dan Kemiskinan
Berbagai
indikator kesehatan di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah jika
dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan tinggi, memperlihatkan bahwa
angka kesakitan dan kematian secara kuat berkorelasi terbalik dengan
pendapatan, seperti terlihat dalam Tabel
2 dibawah ini. Studi lain dilakukan oleh Bank Dunia yang membagi keadaan
kesehatan antara kelompok penduduk berpenghasilan tinggi dan rendah pada
negara-negara tertentu. Sebagai contoh, tingkat kematian anak pada quantil
termiskin di Bolivia dan Turki diperkirakan
empat kali lebih besar dibandingkan dengan tingkat kematian pada quantil
terkaya. Dengan demikian kebijakan yang diarahkan untuk menanggulangi penyakit
malaria dan kekurangan gizi secara langsung merupakan implementasi dari kebijakan
mengurangi kemiskinan. Komitmen global
untuk meningkatkan status kesehatan secara jelas dicantumkan dalam Tujuan
Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals-MDGs). Tujuan
pembangunan milenium tersebut antara lain: (1) menurunkan angka kematian anak
sebesar dua pertiganya pada tahun 2015
dari keadaan tahun 1990; (2) menurunkan angka kematian ibu melahirkan sebesar
tiga perempatnya pada tahun 2015 dari keadaan 1990; dan (3) menahan peningkatan
prevalensi penyakit HIV/AIDS dan penyakit utama lainnya pada tahun 2015. Tujuan
pembangunan milenium difokuskan terhadap pengurangan kemiskinan pada umumnya
dan beberapa tujuan kesehatan pada khususnya, sehingga terdapat keterkaitan
antara upaya keseluruhan penurunan kemiskinan dengan investasi di bidang kesehatan.
Konsekuensi ekonomi jika terjadi serangan penyakit pada anggota keluarga merupakan bencana jika untuk biaya
penyembuhannya mengharuskan menjual aset yang mereka miliki atau berhutang. Hal
ini akan menyebabkan keluarga jatuh kedalam kemiskinan, dan jika tidak bisa
keluar dari hal ini akan mengganggu tingkat kesejahteraan seluruh anggota
keluarga bahkan generasi berikutnya. Serangan penyakit yang tidak fatal dalam
kehidupan awal akan mempunyai pengaruh yang merugikan selama siklus hidup
berikutnya. Pendidikan secara luas dikenal sebagai kunci dari pembangunan,
tetapi masih belum dihargai betapa pentingnya kesehatan anak dalam pencapaian
hasil pendidikan. Kesehatan yang buruk secara langsung menurunkan potensi
kognitif dan secara tidak langsung mengurangi kemampuan sekolah. Penyakit dapat
memelaratkan keluarga melalui menurunnya pendapatan, menurunnya angka harapan
hidup, dan menurunya kesejahteraan psikologis.
3. Memilih Intervensi Untuk Kesehatan Yang Lebih Baik
Di
berbagai negara khususnya di negara-negara yang sedang berkembang, ketersediaan
sumber daya untuk mengatasi masalah kesehatan sangat terbatas, oleh karena itu
pemilihan alternatif intervensi kesehatan yang cost-effective menjadi
penting. Pada tahun 1978, melalui Deklarasi Alma Ata tujuan kesehatan bagi
semua telah disetujui oleh seluruh negara anggota. Organisasi Kesehatan Sedunia
(World Health Organization-WHO). Beberapa kesepakatan dalam deklarasi
tersebut adalah komitmen negara-negara anggota terhadap keadilan kesehatan,
lebih memfokuskan pelayanan kesehatan pencegahan (preventive) dan
peningkatan (promotive) dibandingkan dengan pengobatan (curative)
dan pemulihan (rehabilitative), meningkatkan kerjasama lintas sektoral,
dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Sampai saat ini beberapa komitmen
tersebut belum dapat diwujudkan. Sebagian besar negara-negara berpendapatan
rendah lebih banyak mengalokasikan sumber daya untuk pelayanan kesehatan
pengobatan. Hal ini menyebabkan terjadinya inefisiensi alokasi, penggunaan
teknologi yang tidak tepat, dan inefisiensi teknis. Hanya sedikit negara yang
sukses mencapai kesehatan yang adil dan berhasil menjalin kerjasama lintas sektor dan partisipasi
masyarakat dengan baik.
4. Menilai Status Kesehatan Penduduk
Status kesehatan penduduk biasanya dinilai dengan
menggunakan berbagai indikator yang secara garis besar dibagi dalam dua
kelompok. Kelompok pertama, berisikan indikator yang menghitung jumlah kematian
yang terjadi selama periode tertentu. Contohnya adalah angka kematian kasar (Crude Death
Rate-CDR) dan angka kematian bayi (Infant Mortality Rate-IMR).
Kelompok penduduk yang mempunyai angka CDR dan IMR yang rendah dikatakan
mempunyai status kesehatan yang lebih baik jika dibandingkan dengan kelompok
penduduk yang angka CDR dan IMR nya tinggi. Kelompok kedua, berisikan berbagai
indikator yang memperlihatkan jumlah orang yang menderita kecacatan akibat
penyakit tertentu. Contohnya adalah jumlah penderita AIDS, Tuberkulosis (TB),
Polio, dan sakit mental. Sama dengan kelompok pertama, kelompok penduduk yang
mempunyai jumlah penderita AIDS atau TB lebih sedikit dikatakan lebih sehat
jika dibandingkan dengan kelompok penduduk yang jumlah penderita penyakit
tersebut lebih banyak. Kedua kelompok
indikator tersebut sayangnya tidak menjelaskan kepada kita kapan kematian atau
kecacatan terjadi, bagaimana tingkat parahnya penyakit, dan berapa lama mereka
menderita. Masyarakat pempunyai nilai atau persepsi yang berbeda tentang
hal-hal tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 1993 kedua kelompok
indikator tersebut digabungkan kedalam satu indikator yang disebut DALY ( Disability Adjusted Life Years ) untuk
mengukur dengan lebih baik status kesehatan penduduk. DALY menggambarkan jumlah
tahun untuk hidup sehat yang hilang sebagai akibat dari kematian dan kecacatan.
Satu DALY didefinisikan sebagai satu tahun yang hilang untuk hidup sehat akibat
dari kematian dan kecacatan. Penggunaan DALY dapat digunakan untuk
membandingkan kesehatan penduduk dari waktu ke waktu atau membandingkan antara
satu kelompok penduduk dengan kelompok penduduk lain dengan lebih mudah dan
sederhana. Kesimpulannya, DALY mengukur beban yang ditimbulkan oleh penyakit
yang diakibatkan oleh kematian dan atau kecacatan yang harus ditanggung oleh masyarakat.
Penggunaan indikator DALY dapat dianalogikan dengan penggunaan indikator HDI
(Human Development Index) yang dikembangkan oleh UNDP yang merupakan
indikator komposit dari kesehatan, pendidikan dan tingkat pendapatan
.
5. Peningkatan Biaya Kesehatan
Analisis perkiraan biaya untuk meningkatkan cakupan
intervensi pelayanan kesehatan yang esensial telah dilakukan terhadap 49
kegiatan prioritas di 89 negara miskin. Intervensi ini telah diidentifikasi
sebagai kunci keberhasilan untuk menangani keadaan kesehatan bagi penduduk
miskin. Perluasan kegiatan ini didasarkan atas tingkat cakupan yang akan
dicapai pada tahun 2007 dan 2015 dengan data dasar tahun 2002. Analisa biaya
direncanakan untuk memperkirakan tambahan biaya yang diperlukan untuk perluasan
pelayanan yang didasarkan atas kondisi saat ini.
6.
Menghilangkan Hambatan Non-Biaya Untuk Pelayanan
Kesehatan
Sebagian besar negara-negara berpendapatan rendah
memerlukan upaya khusus untuk meningkatkan pelayanan kesehatan terutama untuk
menerapkan sistem DDK dan dukungan manajemen sangat diperlukan. Komisi menilai
secara detil berbagai hambatan non-finansial yang harus diatasi, (lihat Tabel ). Terdapat lima katagori hambatan yaitu sebagai berikut: (1) pada
tingkat keluarga dan masyarakat, (2) tingkat pelayanan kesehatan, (3) tingkat
kebijakan sektor kesehatan dan manajemen strategik, (4) isu kebijakan publik,
dan (5) karakteristik lingkungan.
2.1.2 Pengertian Pembangunan Kesehatan
Pembangunan kesehatan adalah
bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan
dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan
upaya seluruh potensi bangsa Indonesia, baik masyarakat, swasta maupun
pemerintah. Pembangunan kesehatan harus diimbangi dengan intervensi perilaku
yang memungkinkan masyarakat lebih sadar, mau dan mampu melakukan hidup sehat
sebagai prasyarat pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Untuk menjadikan masyarakat mampu hidup sehat, masyarakat harus dibekali dengan
pengetahuan tentang cara-cara hidup sehat. Oleh sebab itu promosi kesehatan
hendaknya dapat berjalan secara integral dengan berbagai aktivitas pembangunan
kesehatan sehingga menjadi arus utama pada percepatan pencapaian MDGs dan
mewujudkan jaminan kesehatan masyarakat semesta
2.2
Kaitan Dasar Ekonomi Kesehatan Terhadap Pembangunan
Sistem ekonomi kesehatan dapat diidentifikasi dalam
berbagai komponen yaitu: pemerintah, masyarakat, pihak ketiga yang menjadi
sumber pembiayaan seperti PT Askes Indonesia, JPKM; Penyedia pelayanan,
termasuk industri obat dan tempat-tempat pendidikan tenaga kesehatan, dan
sebagainya. Pembangunan adalah sebagai suatu proses, akan terkait dengan
mekanisme sistem atau kinerja suatu sistem. Menurut Eastonn, proses sistemik
paling tidak terdiri atas tiga unsur: pertama adanya input, yaitu bahan masukan
konversi; kedua, adanya proses konversi, yaitu wahana untuk mengolah bahan
masukan; ketiga, adanya output, yaitu sebagai hasil dari proses konversi yang
dilaksanakan. Proses sistenik dari suatu sistem akan saling terkait dengan
subsistem dan sistem-sistem lainnya termasuk lingkungan internasional. Proses
pembangunan sebagai proses sistemik, pada akhirnya akan menghasilkan keluaran
(output) pembangunan, kualitas dari output pembangunan tergantung pada bahan
masukan (input), kualitas dari proses pembangunan yang dilaksanakan, serta
seberapa besar pengaruh lingkungan dan faktor-faktor alam lainnya. Bahan
masukan pembangunan, salah satunya adalah saumber daya manusia, yang dalam
bentuk konkritnya adalah manusia. Manusia dalam proses pembangunan mengandung
beberapa pengertian, yaitu manusia sebagai pelaksana pembangunan, manusia
sebagai perencana pembangunan, dan manusia sebagai sasaran dari proses
pembangunan (as object). Menurut H.L Blum (1974) derajat kesehatan dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan medis dan keturunan.
Yang sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan adalah keadaan lingkungan yang
tidak memenuhi syarat kesehatan dan perilaku masyarakat yang merugikan, baik
masyarakat di pedesaan maupun perkotaan yang disebabkan karena kurangnya
pengetahuan dan kemampuan masyarakat dibidang kesehatan, ekonomi maupun
teknologi (Departemen Kesehatan RI, 2004).
Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud kesehatan masyarakat baik dalam bidang promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif agar setiap warga masyarakat dapat mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya baik fisik, mental dan sosial serta harapan berumur panjang. Untuk mencapai tujuan tersebut Winslow menetapkan suatu syarat yang sangat penting, yaitu harus ada pengertian, bantuan dan partisipasi masyarakat secara teratur dan terus menerus (Effendy, 1998).
Sedangkan tujuan dari pembangunan nasional adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jika dalam pembangunan nasional mencakup seluruh aspek nasional seperti kesehatan, pertanian, keuangan, dan lain-lain, maka pembangunan harus berawal dari pembangunan aspek nasional satu per satu. Pada hal ini yang kita khususkan adalah aspek kesehatan. Bidang kesehatan merupakan salah satu aspek nasional yang penting dan harus dibangun secara baik. Mejadi baiknya bidang kesehatan memiliki beberapa faktor seperti ekonomi kesehatan, pelayanan, pelaku kesehatan, pembangunan kesehatan, dan sebagainya.
Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud kesehatan masyarakat baik dalam bidang promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif agar setiap warga masyarakat dapat mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya baik fisik, mental dan sosial serta harapan berumur panjang. Untuk mencapai tujuan tersebut Winslow menetapkan suatu syarat yang sangat penting, yaitu harus ada pengertian, bantuan dan partisipasi masyarakat secara teratur dan terus menerus (Effendy, 1998).
Sedangkan tujuan dari pembangunan nasional adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jika dalam pembangunan nasional mencakup seluruh aspek nasional seperti kesehatan, pertanian, keuangan, dan lain-lain, maka pembangunan harus berawal dari pembangunan aspek nasional satu per satu. Pada hal ini yang kita khususkan adalah aspek kesehatan. Bidang kesehatan merupakan salah satu aspek nasional yang penting dan harus dibangun secara baik. Mejadi baiknya bidang kesehatan memiliki beberapa faktor seperti ekonomi kesehatan, pelayanan, pelaku kesehatan, pembangunan kesehatan, dan sebagainya.
2.3
Definisi Pembiayaan Kesehatan, Macam Biaya
Kesehatan
2.3.1 Definisi Pembiayaan Kesehatan
Sub
system pembiayaan kesehatan merupakan salah satu bidang ilmu dari ekonomi
kesehatan (health economy). Yang dimaksud dengan biaya kesehatan adalah
besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan
berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok
dan masyarakat. Dari batasan ini segera terlihat bahwa biaya kesehatan dapat
ditinjau dari dua sudut yakni :
1)
Penyedia Pelayanan Kesehatan
Yang
dimaksud dengan biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan (health
provider) adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat
menyelenggarakan upaya kesehatan. Dengan pengertian yang seperti ini tampak
bahwa kesehatan dari sudut penyedia pelayanan adalah persoalan utama pemerintah
dan atau pun pihak swasta, yakni pihak-pihak yang akan menyelenggarakan upaya
kesehatan.
2)
Pemakai Jasa Pelayanan
Yang
dimaksud dengan biaya kesehatan dari sudut pemakai jasa pelayanan (health
consumer) adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat
memanfaatkan jasa pelayanan. Berbeda dengan pengertian pertama, maka biaya
kesehatan di sini menjadi persoalan utama para pemakai jasa pelayanan. Dalam
batas-batas tertentu, pemerintah juga turut mempersoalkannya, yakni dalam
rangka terjaminnya pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang
membutuhkannya. Dari batasan biaya kesehatan yang seperti ini segera dipahami
bahwa pengertian biaya kesehatan tidaklah sama antara penyedia pelayanan
kesehatan (health provider) dengan pemakai jasa pelayanan kesehatan (health
consumer). Bagi penyedia pelayanan kesehatan, pengertian biaya kesehatan
lebih menunjuk pada dana yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan
upaya kesehatan. Sedangkan bagi pemakai jasa pelayanan kesehatan, pengertian
biaya kesehatan lebih menunjuk pada dana yang harus disediakan untuk dapat
memanfaatkan upaya kesehatan. Sesuai dengan terdapatnya perbedaan pengertian
yang seperti ini, tentu mudah diperkirakan bahwa besarnya dana yang dihitung sebagai
biaya kesehatan tidaklah sama antara pemakai jasa pelayanan dengan penyedia
pelayanan kesehatan. Besarnya dana bagi penyedia pelayanan lebih menunjuk padaa
seluruh biaya investasi (investment cost) serta seluruh biaya
operasional (operational cost) yang harus disediakan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan. Sedangkan besarnnya dana bagi pemakai jasa
pelayanan lebih menunjuk pada jumlah uang yang harus dikeluarkan (out of
pocket) untuk dapat memanfaatka suatu upaya kesehatan. Secara umum
disebutkan apabila total dana yang dikeluarkan oleh seluruh pemakai jasa
pelayanan, dan arena itu merupakan pemasukan bagi penyedia pelayan kesehatan (income)
adalah lebih besar daripada yang dikeluarkan oleh penyedia pelayanan kesehatan
(expenses), maka berarti penyelenggaraan upaya kesehatan tersebut
mengalami keuntungan (profit). Tetapi apabila sebaliknya, maka berarti
penyelenggaraan upaya kesehatan tersebut mengalami kerugian (loss).
Perhitungan total biaya kesehatan satu negara sangat tergantung dari besarnya
dana yang dikeluarkan oleh kedua belah pihakk tersebut. Hanya saja, karena pada
umumnya pihak penyedia pelayanan kesehatan terutama yang diselenggrakan oleh
ihak swasta tidak ingin mengalami kerugian, dan karena itu setiap pengeluaran
telah diperhitungkan terhadap jasa pelayanan yang akan diselenggarakan, maka
perhitungan total biaya kesehatan akhirnya lebih banyak didasarkan pada jumlah
dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan kesehatan saja. Di
samping itu, karena di setiap negara selalu ditemukan peranan pemerintah, maka
dalam memperhitungkan jumlah dana yang beredar di sektor pemerintah. Tetapi
karena pada upaya kesehatan pemerintah selalu ditemukan adanya subsidi, maka
cara perhitungan yang dipergunakan tidaklah sama. Total biaya kesehatan dari
sektor pemerintah tidak dihitung dari besarnya dana yang dikeluarkan oleh para
pemakai jasa, dan karena itu merupakan pendapatan (income) pemerintah,
melainkan dari besarnya dana yang dikeluarkan oleh pemerintah (expenses)
untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Dari uraian ini menjadi jelaslah
untuk dapat menghitung besarnya total biaya kesehatan yang berlaku di suatu
negara, ada dua pedoman yang dipakai. Pertama, besarnya dana yang dikeluarkan
oleh para pemakai jasa pelayanan untuk sektor swasta. Kedua, besarnya dana yang
dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan kesehatan untuk sektor pemerintah.
Total biaya kesehatan adalah hasil dari penjumlahan dari kedua pengeluaran
tersebut.
2.3.2
Macam
Biaya Kesehatan
Biaya kesehatan banyak macamnya karena semuanya
tergantung dari jenis dan kompleksitas pelayanan kesehatan yang diselenggarakan
dan atau dimanfaatkan. Hanya saja disesuaikan dengan pembagian pelayanan
kesehatan, maka biaya kesehatan tersebut secara umum dapat dibedakan atas dua
macam yakni :
1. Biaya pelayanan kedokteran
Biaya yang dimaksudkan di
sini adalah biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan
pelayanan kedokteran, yakni yang tujuan utamanya untuk mengobati penyakit serta
memulihkan kesehatan penderita.
2. Biaya pelayanan kesehatan
masyarakat
Biaya yang dimaksudkan di
sini adalah biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan
pelayanan kesehatan masyarakat yakni yang tujuan utamanya untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta untuk mencegah penyakit. Sama halnya dengan biaya
kesehatan secara keseluruhan, maka masing-masing biaya kesehatan ini dapat pula
ditinjau dari dua sudut yakni dari sudut penyelenggara kesehatan (health
provider) dan dari sudut pemakai jasa pelayanan kesehatan (health consumer).
2.4 Perkembangan Sistem
Pembiayaan Kesehatan Di Indonesia
2.4.1
Masa Penjajahan ( Colonial Period )
Sejarah kesehatan
masyarakat di Indonesia dimulai sejak zaman penjajahan Belanda pada abad ke-19.
Pada tahun 1807 dimasa pemerintahan Gubernur Jenderal Deandles pembiayaan
kesehatan dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu pernah
dilakukan pelatihan dukun bayi dalam praktik persalinan dengan tujuan penurunan
angka kematian bayi yang sangat tinggi pada masa tersebut. Upaya tersebut tidak
berlangsung lama karena terbatasnya dana dalam penyediaan tenaga pelatih
kebidanan. Pada tahun 1930 upaya ini dilanjutkan kembali dengan mendata semua
dukun bayi yang ada di Indonesia untuk diberikan pelatihan pertolongan
persalinan. Pada masa penjajahan juga yiatu tahun 1851 didirikan Sekolah Dokter
Java (sekarang menjadi Fakultas kedokteran Universitas Indonesia ) di Jakarta
yang dikepalai oleh orang Belanda yang kemudian terkenal dengan nama STOVIA (
School Tot Opleding Van Indische Arsten ) untuk pendidikan dokter pribumi. Pada
tahun 1913 juga didirikan sekolah dokter di Surabaya dengan nama NIAS ( Nederland Indische Arsten School ). Kedua
sekolah doker tersebut mempunyai peranan besar dalam pengembangan kesehatan
masyarakat di Indonesia. Pada masa penjajahan, pemerintah Hindia Belanda juga
mendirikan berbagai fasilitas kesehatan diberbagai daerah di Indonesia seperti
Laboratorium Eykman di Bandung tahun 1888 yang juga berdiri di Medan, Makassar,
Surabaya dan Yogyakarta. Saat wabah penyakit Pes masuk ke Indonesia pada tahun
1922 dan menjadi epidemik tahun 1933-1935 terutama di pulau Jawa, pemerintah
Hindia Belanda melakukan penanggulangan dengan melakukan penyemprotan dengan
DDT terhadap semua rumah penduduk dan vaksinasi masal. Begitupun saat terjadi
wabah penyakit Kolera pada tahun 1927 dan 1937. Dari
berbagai catatan sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa penjajahan,
pembiayaan kesehatan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu bersumber dari
pajak dan hasil bumi yang dihasilkan dari bumi Indonesia. Kebijakan pembiayaan
kesehatan masyarakat sepenuhnya berada dalam kendali penuh pemerintah Hindia Belanda,
warga Indonesia yang sedang terjajah tidak bisa ikut berpartisipasi dalam
pelayanan kesehatan, akses masyarakat pribumi terhadap fasilitas pelayanan
kesehatan yang dimiliki pemerintah Hindia Belanda juga dibatasi. Warga pribumi
hanya berperan sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan yang disediakan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Pada masa ini Pemerintah Hindia Belanda tidak dapat
menjamin pelayanan kesehatan berbasis kemasyarakatan yang bisa memberikan
jaminan bahwa setiap penduduk memiliki status kesehatan yang baik. Pemerintah
Hindia Belanda hanya mementingkan pelayanan kesehatan bagi para pegawai
pemerintah Hindia Belanda, Militer belanda dan pegawai perusahaan milik
pemerintah pada masa itu.
2.4.2
Pembiayaan Kesehatan Masa Kemerdekaan dan Orde Lama
Sejarah yang mencatat
kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945 menaruh harapan besar bagi
segenap warga negara Indonesia dalam semua aspek kehidupan untuk menjadi lebih
baik. Salah satu aspek yang menjadi harapan adalah bidang kesehatan. Perbaikan
di sektor kesehatan terutama dititik beratkan pada upaya pemerataan pelayanan
kesehatan yang bisa menjangkau seluruh masyarakat diwilayah negara kesatuan
Republik Indonesia yang notabene merupakan negara kepulauan yang sangat luas
wilayahnya. Pembiayaan kesehatan negara
Indonesia pada masa tersebut sepenuhnya berada dalam domain pemerintah Republik
Indonesia yang dialokasikan melalui anggaran negara. Keterbatasan anggaran
belanja negara yang juga masih membutuhkan dana terutama dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan membuat aspek kesehatan belum menjadi prioritas
utama pemerintahan pada masa itu dalam pembangunan.
Salah satu perkembangan
penting bidang kesehatan pada masa kemerdekaan adalah konsep Bandung ( Bandung
Plan ) pada tahun 1951 oleh dr. J. Leimena
dan dr. Patah. Konsep ini memperkenalkan bahwa dalam pelayanan kesehatan
masyarakat, aspek kuratif dan rehabilitatif tidak bisa dipisahkan. Tahun 1956,
dr. J. Sulianti mengembangkan konsep
baru dalam upaya pengembangan kesehatan masyarakat yaitu model pelayanan bagai
pengembangan kesehatan masyarakat pedesaan di Indonesia. Konsep ini memadukan
antara pelayanan medis dengan pelayanan kesehatan masyarakat pedesaan. Kondisi ekonomi dan keuangan pada periode awal
kemerdekaan amat buruk. Kondisi ini membuat pemerintahan pada masa tersebut
mengambil kebijakan yang kurang menitikberatkan pada sektor kesehatan.
Pemerintahan pada masa awal kemerdekaan dan orde lama pembangunannya lebih
dititik beratkan pada peningkatan ekonomi, pemerintah belum memiliki kebijakan
kesehatan nasional yang jelas. Pada masa
itu pemerintah sempat menjalankan program pelayanan kesehatan bagi masyarakat
miskin tetapi belum berhasil dengan baik karena pelayanan yang kurang merata
dan belum mampu menjangkau seluruh masyarakat Indonesia, selain itu juga
dikembangkan model sistem asuransi kesehatan tetapi masih terbatas pada
kalangan pejabat pemerintahan
saja. Banyaknya kegagalan
dalam berbagai kebijakan ekonomi yang terjadi pada masa ini juga diperparah
karena pemerintah tidak mampu melakukan penghematan dalam belanja negara,
banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah. Pengaruh politik
sangat kentara sekali karena pada masa ini pemerintah Indonesia terlibat
konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat. Hal ini merupakan imbas
dari sistem demokrasi terpimpin yang digunakan oleh pemerintahan Presiden
Soekarno yang lebih berkiblat kearah sosialis baik dalam bidang politik, sosial
dan ekonomi. Dari berbagai catatan
sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa kemerdekaan dan orde lama,
pembiayaan kesehatan pemerintah pada waktu itu bersumber hampir seluruhnya dari
anggaran pemerintah. Kebijakan pembiayaan kesehatan masyarakat sepenuhnya
berada dalam kendali penuh pemerintahan Presiden Soekarno. Warga Indonesia
sudah mulai dilibatkan dan ikut
berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan, akses masyarakat terhadap fasilitas
pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah mulai dibuka. Pada masa ini
Pemerintah orde lama belum mampu menjamin pelayanan kesehatan berbasis
kemasyarakatan yang bisa memberikan jaminan bahwa setiap penduduk memiliki
status kesehatan yang baik.
2.4.3
Pembiayaan Kesehatan Masa Orde Baru
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Nomor 5 tahun 1974
tentang pokok-pokok pemerintah daerah menganut tiga asas yaitu:
a. Asas Sentralisasi
Asas Sentralisasi adalah sistem pemerintahan
dimana segala kekuasaan dipusatkan di pemerintah pusat.
b. Asas Desentralisasi
Asas Desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI)
c. Asas Dekonsentrasi
Asas Dekonsentrasi adalah
pelimpahan wewenang pemerinahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertical
wilayah tertentu.
Pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto, kebijakan pemerintah lebih menitikberatkan pada stabilitas
nasional yang sangat besar sekali pengaruh politiknya. Soeharto beranggapan
bahwa suatu negara harus mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu sebelum
mencapai stabilitas dibidang lainnya. Pembangunan nasional terus dilakukan
untuk terus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan berbagi kebijakan
seperti penciptaan lapangan keja baru. Pendapatan perkapita penduduk juga
meningkat jika dibandingkan dengan periode pemerintahan orde lama. Pemerintahan orde baru menjalankan kebijakan yang tidak
mengalami perubahan signifikan sepanjang 32 tahun masa kepemerintahan,
pemerintah jarang sekali melakukan perubahan arah kebijakan pembangunan karena
telah dituangkan dalam Garis-garis besar haluan negara sehingga setiap
perencanaan pembangunan harus mengarah pada GBHN yang telah ditetapkan
pemerintah. Pemerintah sukses mengeluarkan jargon kebijakan ekonomi yang
disebut trilogi pembangunan yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang
stabil dan pemerataan pembangunan. Terlihat jelas sekali keberhasilan
pemerintahan dalam menjaga stabilitas perekonomian negara karena ditunjang oleh
stabilitas politik yang sangat baik.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada masa orde baru selalu
disusun berdasarkan asumsi perhitungan dasar yaitu laju pertumbuhan ekonomi,
tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah dan nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika. Format APBN hanya dibedakan menjadi dua jenis catatan yaitu
penerimaan dan pengeluaran, juga diberlakukan prinsip berimbang denga artian
bahwa pengeluaran negara disesuaikan dengan pemasukan yang diterima. Saat kekuasaan pemerintahan beralih
pada tahun 1967 dari Pemerintahan Presiden Soekarno ke Presiden
Soeharto, kebijakan dan arah pembangunan Indonesia juga turut mengalami
perubahan yang signifikan. Pada bulan Nopember 1967, dilakukan seminar yang
membahas dan merumuskan program kesehatan masyarakat terpadu sesuai dengan
kondisi dan kemampuan rakyat Indonesia. dr. Achmad Dipodilogo yang mengacu pada konsep Bandung ( Bandung
Plan ) mengajukan konsep pusat kesehatan masyarakat. Hasil seminar pada waktu
itu menyepakati konsep puskesmas tipe A, B dan C. Departemen Kesehatan pada
waktu itu menyiapkan rencana induk
pelayanan kesehatan terpadu di Indonesia.
Pada tahun 1968 dilaksanakan Rapat Kerja Kesehatan Nasional yang
menghasilkan keputusan bahwa puskesmas merupakan sistem pelayanan kesehatan
terpadu yang kemudian dikembangkan menjadi pusat pelayanan kesehatan
masyarakat. Puskesmas disepakati sebagai unit pelayanan kesehatan yang
memberikan pelayanan kuratif dan preventif secara terpadu, menyeluruh dn mudah
dijangkau dalam wilayah kerja kecamatan atau sebagian kecamatan di kotamadya
atau kabupaten ( Notoatmodjo : 2005 ). Pada tahun 1984 tanggung jawab puskesmas
sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat di daerah mulai
ditingkatkan lagi dengan dikembangnya konsep Posyandu ( Pos Pelayanan Tepadu )
yang memberikan pelayanan kesehatan ditingkat desa dengan menitikberatkan pada
pelayanan kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, gizi, penanggulangan
diare dan imunisasi. Pelayanan di posyandu juga merupakan momentum baru dalam
melibatkan partisipasi masyarakat dalam upaya kesehatan dengan adanya kader
kesehatan yang berasal dari masyarakat dalam pelayanan posyandu di tiap desa.
Pembiayaan kesehatan
pada masa orde baru juga mengalami perubahan dimana kondisi perekonomian negara
yang mulai meningkat, sektor privat atau swasta juga mengalami perkembangan
pesat termasuk didalamnya pengelolaan rumah sakit. Pemerintah pada masa itu
juga belum mampu menetapkan regulasi yang mengatur tentang pasar dibidang
kesehatan. Pembiayaan kesehatan negara
hampir sepenuhnya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN),
perencanaan pembangunan dibidang kesehatan ditetapkan melalui rencana
pembangunan lima tahunan atau yang lebih dikenal dengan sebutan REPELITA mulai
dali REPELITA I sampai REPELITA VI yang juga berakhir seiring dengan
berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru ke orde reformasi pada tahun 1998.
Dari berbagai catatan
sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa orde baru Indonesia pernah
mengalami masa kejayaan dalam bidang ekonomi yang juga memberikan dampak
positif terhadap pembiayaan sektor
kesehatan. Lahirnya konsep puskesmas dan posyandu yang bertujuan untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat juga terjadi pada masa ini. Pembiayaan kesehatan pada masa ini tidak lagi sepenuhnya bersumber dari anggaran
pemerintah tetapi juga mulai dilakukan oleh sektor swasta yang ditandai dengan
meningkatnya jumlah rumah sakit swasta yang didirikan di berbagai wilayah di
Indonesia. Kebijakan pembiayaan kesehatan masyarakat sepenuhnya berada dalam
kendali penuh pemerintahan Presiden Soeharto. Warga masyarakat sudah mulai dilibatkan dan ikut berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan
seperti sebagai kader kesehatan dalam program posyandu, akses masyarakat
terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah mulai merata.
Pada masa ini pemerintah orde baru sudah mulai mampu menjamin pelayanan
kesehatan berbasis kemasyarakatan yang bisa memberikan jaminan bahwa setiap
penduduk memiliki status kesehatan yang baik.
2.4.4
Pembiayaan Kesehatan Masa Reformasi
Beralihnya kekuasaan
dari Presiden Soeharto ke Presiden Habibie dimulai era reformasi. Banyak
perubahan besar terjadi pada masa ini seperti dalam hal ketatanegaraan dan juga
kebijakan ekonomi. Dalam bidang pembiayaan kesehatan,
kebijakan yang diambil adalah program kompensasi pengurangan subsidi bahan
bakar minyak - jaring pengaman sosial bidang kesehatan ( PKPS BBM – JPS BK )
yang dimulai sejak tahun 1998 dengan tujuan memberikan pelayanan kesehatan
gratis bagi masyarakat tidak mampu disemua fasilitas pelayanan kesehatan milik
pemerintah. Program ini dilakukan untuk meminimalisir dampak yang dirasakan
oleh masyarakat kecil dan tidak mampu terutama dalam bidang kesehatan terhadap
dampak krisis ekonomi. Berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999
tentang otonomi daerah sebagai salah satu kompensasi kebijakan yang dilakukan
pemerintah untuk mewujudkan aspirasi warga negara diberbagai wilayah di
Indonesia. Pengaruh politik terlihat kentara sekali dalam lahirnya UU Otonomi
daerah, kebijakan pembangunan yang semula tersentralisasi di pemerintahan pusat, sejak diberlakukannya
UU tentang otonomi daerah menjadi di desentralisasikan ke pemerintah daerah
untuk mengambil alih kebijakan pembangunan didaerahnya masing-masing. Bidang
kesehatan termasuk urusan yang penyelenggaraannya diserahkan pada pemerintah
daerah, hal ini setidaknya menimbulkan berbagi masalah seperti ketimpangan
pembangunan antara daerah yang kaya dengan daerah yang miskin. Daerah yang kaya
dengan sumber daya alam tentu saja dapat mengalokasikan lebih banyak anggaran
belanja daerahnya dalam bidang kesehatan, hal itu tentunya tidak bisa dilakukan
oleh daerah yang memiliki sumber daya alam yang terbatas.
Pembiayaan kesehatan
pada masa ini juga mengalami masalah
sebagai imbas terjadinya krisis ekonomi. Anggaran pemerintah disektor kesehatan
pada periode awal reformasi juga menurun. Peran sektor swasta juiga meningkat
pada masa ini yang ditandai dengan terus
bertambahnya jumlah sakit swasta yang didirikan di berbagai wilayah di
Indonesia. Kebijakan pembiayaan kesehatan pemerintah lebih dititik beratkan
pada program untuk mengurangi dampak krisis ekonomi yang langsung dirasakan
oleh masyarakat, salah satu bentuknya adalah program JPS-BK. Bidang kesehatan sejak masa ini tidak lagi
sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah pusat tetapi diserahkan pada
pemerintah daerah, pemerintah pusat lebih banyak mengambil peran sebagi
regulator dalam bidang kesehatan . Akses masyarakat terhadap fasilitas
pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah mulai merata. Pada masa ini
pemerintah sudah mulai mampu menjamin pelayanan kesehatan
berbasis kemasyarakatan yang bisa memberikan jaminan bahwa setiap penduduk
memiliki status kesehatan yang baik.
2.4.5
Pembiayaan Kesehatan Indonesia Masa Sekarang
Pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang dimulai sejak tahun 2004 mengambil kebijakan yang cenderung
controversial dan imbasnya langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Kebijakan
Pengurangan subsidi BBM yang menyebabkan harga BBM melonjak drastis menyebabkan
masyarakat mengalami dampak yang cukup signifikan. Kenaikan harga BBM cenderung
selalu diikuti dengan kenaikan harga berbagai komponen bahan pokok dan kenaikan
jasa termasuk didalamnya jasa pelayanan kesehatan terutama sektor swasta.
Pemerintahan pada masa itu mengalihkan anggaran subsidi BBM ke sektor yang
lebih penting yaitu sektor pendidikan, kesehatan dan bidang lainnya yang ikut
mendukung tercapainya kesejahteraan masyarakat. Kebijakan lainnya yang diambil
pemerintah pada masa ini adalah pemberian Bantuan Langsung Tunai ( BLT ) bagi
masyarakat miskin. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi karena tujuan
pengurangan dampak kenaikan harga BBM bagi masyarakat miskin tidak tercapai
karena banyak BLT yang diterima oleh warga yang tidak berhak. Departemen
Kesehatan pada masa ini yaitu tahun 2006 mengeluarkan konsep pembangunan
kesehatan berkelanjutan yang kemudian dikenal sebagai Visi Indonesia Sehat
2010. Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai visi tersebut
dengan mensosialisasikan hingga ketingkat daerah. Kebijakan desentaralisasi
yang direvisi kembali melalui UU Nomr 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
sedikit menghambat berjalannya kebijakan Indonesia Sehat 2010. Konsepsi visi
Indonesia Sehat 2010 pada prinsipnya menyiratkan pendekatan sentralistik dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan, sebuah paradigm yang secara nyata cukup
bertentangan dengan prinsip desentarlisasi yang di atur dalam UU pemerintahan
daerah dimana kewenangan daerah otonom dalam penentuan arah dan model
pembangunan di wilayahnya masing-masing tanpa hatus terikat dengan kebijakan
pemerintah pusat.
Kebijakan desentralisasi
pada beberapa hal ikut menggerus pola lama pembangunan termasuk didalamnya
pembangunan bidan kesehatan. Kekuasaan otonom pemerintah daerah dalam penentuan
kebijakan pembangunannya membuat konsepsi Visi Indonesia Sehat 2010 menjadi tidak
terlalu bermakna. Pada kenyataannya masih banyak daerah-daerah di Indonesia
yang pembangunan di bidang kesehatannya sangat jauh dari kualitas baik, pada
saat yang sama kecenderungan epidemiologi penyakit tidak banyak mengalami
perubahan dan diperparah lemahnya infrastruktur promotif dan preventif bidang
kesehatan. Pemerintah pusat akhirnya
membuat kebijakan berupa penerbitan dokumen panduan pembangunan kesehatan yang
kemudian dikenal sebagai Sistem Kesehatan Nasional yang terdiri dari; upaya
kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, sumber daya
obat dan perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan manajemen kesehatan.
Komponen pembiayaan kesehatan merupakan salah satu komponen terpenting dalam
sistem kesehatan nasional. Beberapa kebijakan dalam pembiayaan kesehatan yang
dilakukan oleh pemerintah antara lain pada tahun 2004 pemerintah telah
menerbitkan UU Nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional ( UU
SJSN ) dengan tujuan memberikan jaminan nasional yang komprehensif bagi seluruh
warga negara Indonesia. Tahun 2005 pemerintah melalui Departemen Kesehatan
meluncurkan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM)
yang disempurnakan bentuk dan operasionalnya pada tahun 2008 menjadi Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas). Tahun 2010 pemerintah kembali memperkenalkan program baru yaitu Bantuan
Operasional Kesehatan ( BOK ) yang dananya disalurkan ke seluruh puskesmas yang
ada di Indonesia. Pengaruh lembaga Internasional seperti PBB yang Indonesia
menjadi anggotanya dengan konsep Millenium Development Goals ( MDGs )
menekankan beberapa target pembangunan berkelanjutan yang harus dicapai oleh
negara-negara berkembang di dunia termasuk Indonesia. Salah satu komponen dalam
MDGs adalah bidang kesehatan yaitu target penurunan Angka Kematian Ibu
melahirkan atau AKI pada tahun 2015 yang harus menurun hingga 102 / 100.000
kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi ( AKB ) menjadi 23 / 1000 kelahiran
hidup. Untuk mempercepat pencapaian target tersebut pemerintah melalui
Kementerian Kesehatan meluncurkan program baru yang dilaksanakan sejak bulan
Januari 2011 yaitu program Jaminan Persalinan ( Jampersal ) dengan tujuan
menjamin seluruh pembiayaan persalinan seluruh warga negara.
Dari berbagai catatan
sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa sekarang pembiayaan sektor
kesehatan mulai menjadi prioritas pembangunan. Pembiayaan kesehatan pada masa
ini tidak lagi sepenuhnya bersumber dari
anggaran pemerintah tetapi juga dilakukan oleh sektor swasta yang ditandai
dengan meningkatnya jumlah rumah sakit swasta yang didirikan di berbagai
wilayah di Indonesia. Kebijakan pembiayaan kesehatan masyarakat tidak lagi
sepenuhnya berada dalam kendali penuh pemerintahan pusat, seiringnya
berjalannya sistem otonomi daerah, setiap daerah otonom berhak menentukan
perencanaan sendiri pembangunan kesehatan di daerahnya. Partisipasi masyarakat terus meningkat dalam
upaya kesehata yang bersumber masyarakat (UKBM) seperti posyandu dan kader kesehatan. Akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan
kesehatan yang dimiliki pemerintah mulai merata seiring dengan bertambahnya
jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang mulai menjangkau daerah pedesaan di
Indonesia.
Lahirnya UU Nomor 40
tahun 2009 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan harapan baru bagi
sistem pembiayaan kesehatan Indonesia dimasa yang akan datang. Dalam UU
tersebut terdapat empat Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu ; (1) PT. Askes, yang diperuntukan bagi
semua PNS, penerima pension, perintis kemerdekaan, veteran dan anggota
keluarganya dengan jumlah peserta tahun 2010 mencapai 3,7 juta PNS ( belum
termasuk anggota keluarga yang ikut ditanggung biaya kesehatannya yaitu 1 orang
isteri/suami dan 2 orang anak ); (2) PT. Jamsostek, yang diperuntukkan bagi semua
pekerja sektor BUMN dan swasta yang telah bekerjasama dengan Jamsostek; (3) PT.
Asabri, yang diperuntukkan bagi anggota TNI dan POLRI; (4) PT. Taspen, yaitu
dana tabungan pegawai negeri sipil ( Kementerian Kesehatan RI; 2011 ). UU SJSN
No. 40 Tahun 2004 menyebutkan bahwa
setiap warga negara berhak atas jaminan sosial untuk pemenuhan kebutuhan
dasar hidup yg layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat
Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Ini merupakan cikal bakal
terbentuknya Sistem Jaminan Sosial
Nasional Bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober 2011, DPR dan pemerintah
mengesahkan Undang-undang tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial ( BPJS ) yang
di bagi menjadi; (1) UU BPJS 1 yang diasumsikan akan mulai beroperasi pada
tanggal 1 Januari 2014 dengan tujuan penyelenggaraan program jaminan kesehatan
bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk menampung pengalihan program Jamkesmas,
Askes, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan PT. Jamsostek dan PT. Asabri; (2) UU BPJS
2 yang diasumsikan mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014 atau
selambat-lambatnya 1 Juli 2015 dengan tujuan pengelolaan jaminan kecelakaan
kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pension yang merupakan
transformasi dari PT. Jamsostek. Dari berbagai kebijakan
yang telah diambil pemerintah diatas, kebijakan pembiayaan kesehatan Indonesia
dimasa yang akan datang bertujuan untuk menjamin kesehatan semua warga negara
Indonesia tanpa terkecuali. Hal itu diaspirasi melalui disahkannya UU tentang
sistem jaminan sosial nasional yang pada hakekatnya bertujuan agar semua warga
negara dijamin oleh suatu sistem nasional yang dikelola oleh negara, jaminan
yang diberikan tidak hanya sebatas jaminan kesehatan, tetapi juga jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Pemerintah bersama DPR baru saja mengesahkan
UU tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial ( BPJS ) yag mengatur tentang Badan
Publik yang akan melaksanakan sistem jaminan sosial nasional sperti yang telah
dimanatkan dalam UU No. 40 Tahun 2004. Dengan disahkannya UU BPJS, jalan
panjang rakyat Indonesia untuk bisa menikmati jaminan kesehatan dan jaminan
sosial lainnya dari negara masih sangat panjang karena penerapan UU BPJS baru
akan diberlakukan pada awal tahun 2014.
2.5 Definisi Sistem Kesehatan Nasional, tujuan sistem
kesehatan nasional, dan manfaat sistem kesehatan nasional
2.5.1
Definisi
Sistem Kesehatan Nasional
Untuk menjamin
tercapainya tujuan pembangunan kesehatan, diperlukan dukungan Sistem Kesehatan
Nasional yang tangguh. Sistem Kesehatan Nasional adalah Pengelolaan kesehatan
yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan
saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya (Perpres 72/2012 Pasal 1 angka 2). Sistem Kesehatan Nasional
(SKN) adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang
memadukan berbagai upaya bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna
menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan dalam kerangka mewujudkan
kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945 (
Depkes RI, 2004) Pengelolaan kesehatan adalah proses atau cara mencapai tujuan
pembangunan kesehatan melalui pengelolaan upaya kesehatan, penelitian dan
pengembangan kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan,
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan, manajemen, informasi dan regulasi
kesehatan serta pemberdayaan masyarakat. Pembangunan kesehatan adalah upaya
yang dilaksanakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai
investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan
ekonomis.
SKN perlu
dilaksanakan dalam konteks pembangunan kesehatan secara keseluruhan dengan
mempertimbangkan determinan sosial, antara lain kondisi kehidupan sehari-hari,
tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, distribusi kewenangan, keamanan, sumber
daya, kesadaran masyarakat, serta kemampuan tenaga kesehatan dalam mengatasi
masalah-masalah tersebut. SKN disusun dengan memperhatikan pendekatan
revitalisasi pelayanan kesehatan dasar (primary health care) yang meliputi
cakupan pelayanan kesehatan yang adil dan merata, pemberian pelayanan kesehatan
berkualitas yang berpihak kepada kepentingan dan harapan rakyat, kebijakan
kesehatan masyarakat untuk meningkatkan dan melindungi kesehatan masyarakat,
kepemimpinan, serta profesionalisme dalam pembangunan kesehatan
2.5.2
Tujuan
Sistem Kesehatan Nasional
Tujuan SKN adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua
komponen bangsa, baik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat
termasuk badan hukum, badan usaha, dan lembaga swasta secara sinergis, berhasil
guna dan berdaya guna, sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya. ( Perpres 72, 2012).
2.5.3
Manfaat Sistem Kesehatan Nasional
Penyusunan SKN ini
dimaksudkan untuk menyesuaikan SKN 2009 dengan berbagai perubahan dan tantangan
eksternal dan internal, agar dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam
pengelolaan kesehatan baik oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau
masyarakat termasuk badan hukum, badan usaha, dan lembaga swasta. Tersusunnya
SKN ini mempertegas makna pembangunan kesehatan dalam rangka pemenuhan hak
asasi manusia, memperjelas penyelenggaraan pembangunan kesehatan sesuai dengan
visi dan misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun
2005-2025 (RPJP-K), memantapkan kemitraan dan kepemimpinan yang transformatif,
melaksanakan pemerataan upaya kesehatan yang terjangkau dan bermutu,
meningkatkan investasi kesehatan untuk keberhasilan pembangunan nasional. SKN ini merupakan dokumen kebijakan pengelolaan
kesehatan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan ( Perpres
72, 2012)
2.6
Asas Sistem Kesehatan
Nasional
Sebagaimana
dinyatakan bahwa Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah bentuk dan cara
penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Dengan demikian untuk menjamin
efektifitas SKN, maka setiap pelaku pembangunan kesehatan harus taat pada asas
yang menjadi landasan bagi setiap program dan kegiatan pembangunan kesehatan.
1. Dasar Pembangunan Kesehatan
Sesuai dengan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang Pembangunan
Nasional (RPJP-N) Tahun 2005-2025, pembangunan kesehatan diarahkan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar peningkatan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Dalam Undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa
pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan mendasarkan pada:
1. Perikemanusian
Pembangunan kesehatan
harus berlandaskan pada prinsip perikemanusiaan yang dijiwai, digerakan dan
dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tenaga
kesehatan perlu berbudi luhur, memegang teguh etika profesi, dan selalu
menerapkan prinsip perikemanusiaan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan.
2. Pemberdayaan dan
Kemandirian
Setiap orang dan
masyarakat bersama dengan pemerintah berperan, berkewajiban, dan
bertanggung-jawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya. Pembangunan kesehatan
harus mampu membangkitkan dan mendorong peran aktif masyarakat. Pembangunan
kesehatan dilaksanakan dengan berlandaskan pada kepercayaan atas kemampuan dan
kekuatan sendiri serta kepribadian bangsa dan semangat solidaritas sosial serta
gotong-royong.
3. Adil dan Merata
Dalam pembangunan
kesehatan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya, tanpa memandang suku, golongan, agama, dan
status sosial ekonominya. Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan kembang, serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
4. Pengutamaan dan
Manfaat
Pembangunan kesehatan
diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan
perorangan atau golongan. Upaya kesehatan yang bermutu diselenggarakan dengan
memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta harus lebih
mengutamakan pendekatan peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
Pembangunan kesehatan diselenggarakan berlandaskan pada dasar kemitraan atau
sinergisme yang dinamis dan tata penyelenggaraan yang baik, sehingga secara
berhasil guna dan bertahap dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi
peningkatan derajat kesehatan masyarakat, beserta lingkungannya. Pembangunan
kesehatan diarahkan agar memberikan perhatian khusus pada penduduk rentan,
antara lain: ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut, dan masyarakat miskin. Perlu
diupayakan pembangunan kesehatan secara terintegrasi antara Pusat dan Daerah
dengan mengedepankan nilai-nilai pembangunan kesehatan, yaitu: a) Berpihak pada
Rakyat, b) Bertindak Cepat dan Tepat, c) Kerjasama Tim, d) Integritas yang
Tinggi, dan e) Transparansi serta Akuntabilitas.
2. Dasar Sistem Kesehatan Nasional
Dalam
penyelenggaraan, SKN perlu mengacu pada dasar-dasar sebagai berikut:
1. Hak Asasi Manusia
(HAM)
Sesuai dengan tujuan
pembangunan nasional dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu untuk
meningkatkan kecerdasan bangsa dan kesejahteraan rakyat, maka setiap
penyelenggaraan SKN berdasarkan pada prinsip hak asasi manusia. Undang-undang
Dasar 1945 pasal 28 H ayat 1 antara lain menggariskan bahwa setiap rakyat
berhak atas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya tanpa membedakan suku, golongan, agama, jenis kelamin,
dan status sosial ekonomi. Setiap anak dan perempuan berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
2. Sinergisme dan
Kemitraan yang Dinamis
Sistem Kesehatan
Nasional akan berfungsi baik untuk mencapai tujuannya apabila terjadi
Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, dan Sinergisme (KISS), baik antar pelaku,
antar subsistem SKN, maupun dengan sistem serta subsistem lain di luar SKN.
Dengan tatanan ini, maka sistem atau seluruh sektor terkait, seperti
pembangunan prasarana, keuangan dan pendidikan perlu berperan bersama dengan
sektor kesehatan untuk mencapai tujuan nasional.
Pembangunan kesehatan
harus diselenggarakan dengan menggalang kemitraan yang dinamis dan harmonis
antara pemerintah dan masyarakat, termasuk swasta dengan mendayagunakan potensi
yang dimiliki masing-masing. Kemitraan tersebut diwujudkan dengan mengembangkan
jejaring yang berhasil guna dan berdaya guna, agar diperoleh sinergisme yang
lebih mantap dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.
3. Komitmen dan Tata
Pemerintahan yang Baik (Good Governance)
Agar SKN berfungsi
baik, diperlukan komitmen yang tinggi, dukungan, dan kerjasama yang baik dari
para pelaku untuk menghasilkan tata penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang
baik (good governance). Pembangunan kesehatan diselenggarakan secara
demokratis, berkepastian hukum, terbuka (transparan), rasional, profesional,
serta bertanggung-jawab dan bertanggung-gugat (akuntabel).
4. Dukungan Regulasi
Dalam
menyelenggarakan SKN, diperlukan dukungan regulasi berupa adanya berbagai
peraturan perundangan yang mendukung penyelenggaraan SKN dan penerapannya (law
enforcement).
5. Antisipatif dan
Pro Aktif
Setiap pelaku
pembangunan kesehatan harus mampu melakukan antisipasi atas perubahan yang akan
terjadi, yang di dasarkan pada pengalaman masa lalu atau pengalaman yang
terjadi di negara lain. Dengan mengacu pada antisipasi tersebut, pelaku
pembangunan kesehatan perlu lebih proaktif terhadap perubahan lingkungan
strategis baik yang bersifat internal maupun eksternal.
6. Responsif Gender
Dalam penyelenggaraan
SKN, setiap penyusunan rencana kebijakan dan program serta dalam pelaksanaan
program kesehatan harus menerapkan kesetaraan dan keadilan gender. Kesetaraan
gender dalam pembangunan kesehatan adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar
mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan kesehatan serta
kesamaan dalam memperoleh manfaat pembangunan kesehatan. Keadilan gender adalah
suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan dalam
pembangunan kesehatan.
7. Kearifan Lokal
Penyelenggaraan SKN
di daerah harus memperhatikan dan menggunakan potensi daerah yang secara
positif dapat meningkatkan hasil guna dan daya guna pembangunan kesehatan, yang
dapat diukur secara kuantitatif dari meningkatnya peran serta masyarakat dan
secara kualitatif dari meningkatnya kualitas hidup jasmani dan rohani. Dengan
demikian kebijakan pembangunan daerah di bidang kesehatan harus sejalan dengan
SKN, walaupun dalam prakteknya, dapat disesuaikan dengan potensi dan kondisi
serta kebutuhan masyarakat di daerah terutama dalam penyediaan pelayanan
kesehatan dasar bagi rakyat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tujuan
pembangunan kesehatan yaitu : meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
optimal melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang
ditandai penduduk yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat,
memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara
adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh
wilayah Republik Indonesia.
Dampak Pembangunan Ekonomi dapat mempengaruhi derajat derajat kesehatan
masyarakat. adalah pertama, kesehatan dan pembangunan, kedua,
kesehatan dan kemiskinan, ketiga, memilih intervensi untuk kesehatan yang lebih baik, keempat Menilai Status Kesehatan
Penduduk, kelima, Peningkatan Biaya Kesehatan dan yang keenam, Menghilangkan Hambatan Non-Biaya Untuk
Pelayanan Kesehatan.
Pembiayaan
kesehatan merupakan salah satu bidang ilmu dari ekonomi kesehatan (health
economy). Yang dimaksud dengan biaya kesehatan adalah besarnya dana yang
harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya
kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat.
Sumber biaya kesehatan dapat berasal dari anggaran pemerintah, anggaran
masyarakat, bantuan dari dalam dan luar negeri, serta gabungan dari anggaran
pemerintah dan masyarakat. Secara umum biaya kesehatan dapat dibedakan menjadi
dua, yakni biaya pelayanan kedokteran dan biaya pelayanan kesehatan masyarakat.
Sistem Kesehatan Nasional adalah Pengelolaan kesehatan
yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan
saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya. Dengan demikian untuk menjamin efektifitas SKN, maka setiap
pelaku pembangunan kesehatan harus taat pada asas yang menjadi landasan bagi
setiap program dan kegiatan pembangunan kesehatan.
3.2 Saran
Kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita sebagai
mahasiswa dan yang membacanya. Jika ada kesalahan dan kekeliruan dalam makalah
ini maka saya mohon kritik maupun saran
yang sifatnya membangun dari pembaca demi kesempurnaan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Tjiptoherijanto,
soesetyo, 2008. Ekonomi Kesehatan. Rineka Cipta : Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar